Langkah-langkah Menuju Kemerdekaan

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 18:00 WIB

Ya, hanya tugu yang tersisa dari rumah kediaman Soekarno yang diputuskan jadi tempat pembacaan Naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 pukul 10:00 itu. Pagi ini masih beberapa menit selepas pukul 11:00, tapi Matahari mulai garang. Ibu gu­ru dan murid-murid segera meng­arah ke monumen patung besar Soekarno-Hat­ta, 17 pilar, dan marmer hitam Naskah Prok­lamasi yang diresmikan Presiden Soe­harto, pada 17 Agustus 1980 untuk meng­amati dan berfoto. Padahal, titik Bung Karno berdiri memproklamasikan Ke­merdekaan RI berada di ‘Tugu Pe­tir’ 17m yang dibangun 1 Januari 1961 de­ngan cangkulan pertama Bung Kar­no. Lambang petir bak Perusahaan Lis­trik Negara (PLN) ada di puncak bu­latan kepala tugu yang di bagian bawah tercantum, “Di sinilah dibatjakan Prok­la­masi Ke­merdekaan Indonesia pada Tang­gal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pa­gi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” Tugu ini pernah jadi lambang KTP DKI Jakarta sebelum Monas dibangun.

Di lokasi ini masih ada satu obelisk  pu­­tih, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia “Atas Oesaha Wa­nita Djakarta” yang diresmikan Perdana Menteri (PM) Sjahrir, 17 Agustus 1946 diba­yangi Sekutu yang ditumpangi usa­ha Belanda menjajah kembali.  

Tugu Proklamasi: Di balik Pilar Tujuh Belas, ada ruang bagi kami bebas melatih diri. Tenang, terlindungi. (Toto Santiko Budi/National Geographic Traveler)

Tetapi mengapa rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu diruntuhkan pada 1960? Konon, atas perintah Bung Karno yang dikenal amat menghargai sejarah, yang tak ingin rumah ini dikultuskan, dan berharap se­mangat merdeka sajalah yang terus hi­dup.

“Selepas magrib, pembongkaran ru­mah dimulai. Bisa disaksikan dari vila ru­mah kami yang menghadap Rumah Prok­­lamasi itu,” kenang Hendro Sumar­djan (65), putra sosiolog Selo Sumar-djan, yang menghabiskan masa kecilnya di Jalan Pegangsaan Ti­mur 54, bagian dari halaman Rumah Prok­lamasi, “Kami bahkan sempat ngob­rol dengan petugas pembongkaran.”

Bung Karno tinggal di Rumah Prok­lamasi selama sekitar Juli 1942—awal Januari 1946, jelang mengungsi ke ibukota darurat RI, Yogyakarta. Selan­jut­nya rumah itu ditempati PM Sjahrir yang ulang-alik Jakarta-Yogyakarta. Usai penye­rah­­an kedaulatan, Presiden Soe-karno lang­sung tinggal di Istana Merdeka. Tapi setiap 17 Agustus, Bung Karno selalu kembali ke Rumah Proklamasi untuk me­mimpin upacara peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI.

“Ribuan orang selalu hadir saat upa­cara,” kisah Hendro Sumardjan, sambil menambahkan bahwa, “Se­telah Ru­mah Proklamasi dibongkar, Bung Kar­­no tak pernah lagi datang. Upacara De­tik-Detik Proklamasi Kemer­dekaan RI dan Penaikan Bendera Pusaka pun pin­­dah ke Istana Merdeka.”

Hanya saya, guru dan murid-murid SD yang berkunjung ke sana pada siang itu. Berbeda sekali dari suasana sore yang pernah saya tangkap beberapa kali. Warga dewasa dan anak-anak yang tinggal di kampung sekitarnya memanfaatkannya sebagai arena rekre­asi. Bermain bola, ber­jalan-jalan atau duduk bercengkerama di kehijauan rum­put dan kerindangan pepohonan lahan 4 ha itu.  Di suatu sudut, sejumlah pemu­lung bahkan menjadikannya sebagai ru­mah luas beratap langit. Ada yang menya­yangkan suasana tak tertib ini.

Saya meng­ingat syarat Bung Karno ketika memin­ta dicarikan rumah: rumah kecil saja tak mengapa, tapi halaman harus lu­as agar bisa menampung rakyat yang banyak. Keramaian di sore dan akhir pekan itu agaknya memenuhi kei­nginannya. Menam­pung rakyat kecil yang tak memiliki atau kehilangan lahan bermain. Me­re­ka, yang hingga puluhan tahun merdeka, belum sepe­nuh­nya menikmati arti kemerdekaan.