Bangsa Romawi menghubungkan setiap tahun dengan tanggal pendirian kota. Sehingga tahun modern 753 SM dianggap sebagai tahun pertama di Roma kuno.
Kalender tersebut memiliki enam bulan yang berjumlah hari 30 dan empat bulan yang berjumlah hari 31. Empat bulan pertama dinamai dewa seperti Juno (Juni); enam bulan terakhir diberi nomor berurutan dalam bahasa Latin. Sehingga memunculkan nama bulan seperti September (bulan ketujuh). Ketika panen berakhir, begitu pula kalender; bulan-bulan musim dingin tidak disebutkan namanya.
Namun, kalender 10 bulan ini tidak bertahan lama. Pada abad ketujuh SM, sekitar masa pemerintahan raja kedua Roma, Numa Pompilius, kalender pun mengalami perubahan bulan. Revisi melibatkan penambahan 50 hari dan peminjaman satu hari dari masing-masing hari dari 10 bulan yang ada. Ini kemudian menciptakan dua bulan musim dingin baru selama 28 hari: Ianuarius (menghormati dewa Janus) dan Februarius (menghormati Februa, festival pemurnian Romawi).
Kalender baru sama sekali tidak sempurna. Karena orang Romawi percaya angka ganjil adalah keberuntungan, mereka berusaha membagi tahun menjadi bulan-bulan bernomor ganjil. Satu-satunya pengecualian adalah Februari, yang merupakan akhir tahun dan dianggap tidak beruntung.
Namun ternyata ada masalah lain. Kalender bergantung pada bulan, bukan matahari karena siklus bulan adalah 29,5 hari. Maka kalender tidak sinkron dengan musim yang dimaksudkan untuk ditandai.
Dalam upaya untuk mengatasi kebingungan, Roma mengamati satu bulan ekstra, yang disebut Mercedonius, setiap dua atau tiga tahun. Tetapi itu tidak diterapkan secara konsisten dan berbagai penguasa menambah kebingungan dengan mengganti nama bulan.
Baca Juga: Mengapa Ada Tujuh Hari dalam Seminggu? Berikut Penjelasannya
"Situasinya menjadi lebih buruk karena kalender itu bukan dokumen yang tersedia untuk umum," tulis sejarawan Robert A. Hatch. Kalender dijaga oleh para imam yang bertugas membuatnya agar berfungsi. Mereka juga menentukan tanggal hari raya keagamaan, festival, dan hari-hari ketika bisnis dapat dan tidak dapat dilakukan.
Akhirnya, pada tahun 45 SM, Julius Caesar menuntut versi reformasi yang kemudian dikenal sebagai kalender Julian. Kalender itu dirancang oleh Sosigenes dari Alexandria, seorang astronom dan ahli matematika. Ia mengusulkan kalender 365 hari dengan tahun kabisat setiap empat tahun. Meski ia menambahkan panjang tahun sekitar 11 menit, kalender ini lebih sinkron dengan matahari.
Kalender baru Caesar memiliki inovasi lain yaitu tahun baru yang dimulai pada 1 Januari. Ini merupakan hari di mana konsul memulai jabatan. Tetapi meskipun kalender Julian bertahan selama berabad-abad, tanggal kalender baru Caesar tahun tidak selalu dihargai. Sebaliknya, orang Kristen merayakan tahun baru pada berbagai hari raya.
Baca Juga: Sejarah Tahun Kabisat, Sejak Kapan Februari Memiliki 29 Hari?
Selain beberapa penyesuaian oleh penguasa Romawi lainnya, kalender Julian sebagian besar tetap sama sampai tahun 1582. Kemudian Paus Gregorius XIII menyesuaikan kalender agar lebih akurat mencerminkan jumlah waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari. Maka kalender baru berjumlah 365,2425 hari.
Sehingga dengan reformasi Gregory tahun 1582, 1 Januari benar-benar dianggap sebagai awal tahun baru bagi banyak orang. Namun lagi-lagi tidak semua orang beralih ke kalender Gregorian. Sehingga liburan Natal jatuh pada bulan Januari bagi anggota gereja Ortodoks Timur.
Meski dunia modern menggunakan kalender Gregorian, kalender juga lain tetap digunakan sampai saat ini. Akibatnya, budaya yang berbeda mengakui tanggal yang berbeda sebagai awal tahun baru. Seperti Nowruz, Rosh Hashanah, dan Tahun Baru Cina.
Baca Juga: Bagaimana Kalender Tionghoa Padukan Penanggalan Bulan dan Matahari?