Namun, Huang percaya ada juga alasan budaya yang lebih mendasar.
Banyak orang Cina percaya bahwa kemalangan akan menimpa mereka, jika keinginan orang meninggal belum terpenuhi. Menggelar “pernikahan hantu” dinilai sebagai sarana untuk menenteramkan orang yang sudah menemui ajal.
“Ideologi dasar di balik ‘pernikahan hantu’ adalah bahwa mendiang akan melanjutkan hidup mereka di akhirat,” kata Huang. “Jadi, jika seseorang tidak menikah semasa hidupnya, mereka masih harus dinikahkan setelah kematiannya.”
Sebagian besar kasus ini ditemukan di bagian utara dan tengah Tiongkok, seperti wilayah-wilayah Shaanxi dan provinsi Henan. Namun, Szeto Fat-ching, ahl fengsui di Hongkong, juga menegaskan, tradisi kuno ini masih hidup di kalangan masyarakat Cina di Asia Tenggara.
Di Taiwan, jika seorang perempuan lajang meninggal, keluarganya menaruh bungkusan atau paket berwarna merah yang berisi uang tunai, uang kertas, seikat rambut, dan kuku, di tempat terbuka. Lalu mereka menunggu sampai ada laki-laki yang mengambil bungkusan tersebut.
Laki-laki pertama yang mengambil bungkusan itu berarti terpilih sebagai pengantin. Jika ia menolak untuk menikahi jenazah pengantin perempuan, maka ia diyakini akan dirundung nasib sial. Ritual-ritual pernikahannya mirip, tetapi tidak seperti di Cina daratan, tidak perlu menggali tulang belulang.
Pengantin laki-laki juga sering diperbolehkan untuk menikahi perempuan biasa—yang masih hidup—pada kemudian hari, tetapi istri yang dinikahinya sebagai mayat harus diperlakukan sebagai istri utama.
Sebuah video “pernikahan arwah” dari Taichung di Taiwan sempat beredar secara viral setelah seorang laki-laki “menikahi” mendiang pacarnya dalam sebuah upacara yang rumit.
Bagaimanapun, inti dari ritual-ritual ini adalah dilema universal manusia tentang bagaimana berurusan dengan kehilangan dan dukacita.