Ada Makna Dibalik Tradisi Pernikahan Hantu di Tiongkok

By , Jumat, 2 September 2016 | 08:00 WIB

Seorang laki-laki Tiongkok ditangkap polisi karena diduga membunuh dua perempuan penyandang keterbelakangan mental. Lebih dari itu, laki-laki itu juga diduga menjual kedua jenazah perempuan itu untuk digunakan upacara “pernikahan hantu”.

Kejadian ini tentu saja membuat masyarakat Tiongkok gempar. Lalu, apa itu tradisi upacara pernikahan hantu di Tiongkok?

Bagi mereka yang mempercayainya, tradisi pernikahan hantu sudah sudah dilakukan sejak 3.000 tahun yang lalu. Tradisi ini dijalankan untuk memastikan bahwa mereka yang mati lajang tidak akan sendirian di alam baka. Awalnya, pernikahan semacam ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang sudah meninggal—orang yang masih hidup menikahkan dua lajang yang sudah meninggal—namun belakangan, ritual ini melibatkan orang yang masih hidup.

Dalam pernikahan hantu di antara dua orang yang sudah meninggal, keluarga “pengantin” meminta mahar seperti perhiasan, pelayan, dan sebuah rumah mewah, tetapi semuanya dalam bentuk kertas. Faktor-faktor seperti usia dan latar belakang keluarga sama pentingnya dengan pernikahan-pernikahan tradisional biasa.

Jadi, keluarga-keluarga mereka menyewa ahli fengsui yang akan menjadi makcomblang. Dalam upacara pernikahan tersebut biasanya ada nisan kedua mempelai dan sebuah perjamuan. Bagian yang paling penting adalah menggali tulang-tulang mempelai perempuan dan menempatkannya di dalam kubur sang mempelai pria.

Selama bertahun-tahun, ritual ini telah mengalami banyak sekali perubahan. Salah satu yang paling terbaru adalah menikahkan mayat yang sudah mati dengan manusia yang masih hidup.

Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya laporan-laporan perampokan makam dan bahkan kasus pembunuhan. Pada 2015, dilaporkan ada 14 mayat perempuan yang dicuri di satu desa di provinsi Shaanxi. Warga desa mengatakan, para penggali kubur mencuri mayat-mayat itu untuk dijual.

Menurut Huang Jingchun, Kepala Departemen Sastra Cina di Shanghai University yang melakukan studi lapangan soal “pernikahan hantu” di Shaanxi antara 2008 dan 2010, harga mayat atau tulang belulang perempuan muda meningkat tajam.

Pada saat ia melakukan penelitian, harga jasad atau tulang belulang itu antara 30 ribu-50 ribu yuan (Rp60 juta-Rp100 juta). Ia memperkirakan sekarang ini harganya bisa melambung sampai 100 ribu yuan (sekitar Rp 200 juta).

Pada 2006, pemerintah sudah menetapkan hukum yang melarang perdagangan mayat. Namun, para perampok tetap saja berkeliaran menggali kuburan. Tahun lalu, seorang pria yang ditangkap di Liangcheng, Mongolia, mengatakan kepada polisi bahwa ia membunuh perempuan korbannya untuk menjual mayatnya kepada keluarga yang mencari pasangan "pengantin hantu".

Mengapa ini terjadi?

Tiap daerah di Tiongkok memiliki tradisi pernikahan hantunya masing-masing. Di beberapa kabupaten di Tiongkok, seperti Shaanxi, tempat terjadinya kasus pembunuhan terbaru, banyak sekali pria muda lajang bekerja di pertambangan batubara, yang memiliki angka kematian tinggi. “Pernikahan hantu” dilakukan sebagai bentuk kompensasi emosional bagi keluarga yang ditinggalkan.

Mencari mempelai perempuan yang sudah meninggal adalah sesuatu yang bisa mereka lakukan untuk anak laki-laki mereka yang mati muda saat mencari nafkah. Namun, rasio perbandingan jenis kelamin juga signifikan. Pada 2014, hasil sensus menunjukkan bahwa perbandingan angka kelahiran adalah 115 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan.

Namun, Huang percaya ada juga alasan budaya yang lebih mendasar.

Banyak orang Cina percaya bahwa kemalangan akan menimpa mereka, jika keinginan orang meninggal belum terpenuhi. Menggelar “pernikahan hantu” dinilai sebagai sarana untuk menenteramkan orang yang sudah menemui ajal.

“Ideologi dasar di balik ‘pernikahan hantu’ adalah bahwa mendiang akan melanjutkan hidup mereka di akhirat,” kata Huang. “Jadi, jika seseorang tidak menikah semasa hidupnya, mereka masih harus dinikahkan setelah kematiannya.”

Sebagian besar kasus ini ditemukan di bagian utara dan tengah Tiongkok, seperti wilayah-wilayah Shaanxi dan provinsi Henan. Namun, Szeto Fat-ching, ahl fengsui di Hongkong, juga menegaskan, tradisi kuno ini masih hidup di kalangan masyarakat Cina di Asia Tenggara.

Di Taiwan, jika seorang perempuan lajang meninggal, keluarganya menaruh bungkusan atau paket berwarna merah yang berisi uang tunai, uang kertas, seikat rambut, dan kuku, di tempat terbuka. Lalu mereka menunggu sampai ada laki-laki yang mengambil bungkusan tersebut.

Laki-laki pertama yang mengambil bungkusan itu berarti terpilih sebagai pengantin. Jika ia menolak untuk menikahi jenazah pengantin perempuan, maka ia diyakini akan dirundung nasib sial. Ritual-ritual pernikahannya mirip, tetapi tidak seperti di Cina daratan, tidak perlu menggali tulang belulang.

Pengantin laki-laki juga sering diperbolehkan untuk menikahi perempuan biasa—yang masih hidup—pada kemudian hari, tetapi istri yang dinikahinya sebagai mayat harus diperlakukan sebagai istri utama.

Sebuah video “pernikahan arwah” dari Taichung di Taiwan sempat beredar secara viral setelah seorang laki-laki “menikahi” mendiang pacarnya dalam sebuah upacara yang rumit.

Bagaimanapun, inti dari ritual-ritual ini adalah dilema universal manusia tentang bagaimana berurusan dengan kehilangan dan dukacita.