Sheyna Gifford mengambil segenggam penuh batuan vulkanik merah dan menghirupnya dalam-dalam.
“Wow”, ujarnya. “Tidak ada planet yang seperti rumah.”
Gifford adalah seorang jurnalis dan fisikawan yang baru saja menyelesaikan simulasi misi Mars yang merekrut dirinya dan kelima rekan lainnya untuk tinggal di sebuah kubar yang berlokasi di ketinggian 8,200 kaki (2,500 meter) di atas lereng Mauna Loa. Simulasi ini merupakan kegiatan dari Hawaii Space Exploration Analog and Simulation, atau HI-SEAS.
Untuk pertama kalinya, para kru mendarat di Mars-di-Bumi pada Minggu, 28 Agustus tanpa menggunakan seragam ruang angkasa. Selama 365,5 hari mereka bekerja, tinggal, memasak bersama dan menikmati waktu santai bersama. Tidak diperbolehkan adanya kunjungan dari teman, tak ada kontak dengan keluarga.
Gifford merasakan angin pegunungan yang berhembus melewati tangannya. “Ini terasa menyenangkan,” katanya.
“Ini seperti aroma laut dalam ingatan saya. Namun pertanyaannya sekarang adalah, seberapa akurat ingatan saya? Ingatan bisa saja keliru. Yang saya tahu adalah benar saya memang berada di sana,” ucap Gifford.
Eksperimen Sosial
Misi ini menandai kegiatan simulasi dengan waktu terpanjang yang pernah diikuti oleh kru selama di Mars-di-Bumi versi Hawaii. Dalam simulasi sebelumnya, penelitian yang dilakukan NASA dan didanai oleh University of Hawaii di Manoa, ini menghabiskan waktu selama empat hingga delapan bulan. Misi berikutnya rencananya akan dimulai tahun 2017 dan 2018 yang akan dilaksanakan selama delapan bulan.
Tiap kegiatan ini, para peneliti memililih enam anggota kru dan menantang mereka untuk bertahan hidup di sana.
Kru menikmati kegiatan yang dilakukan di sana, seperti membuat toilet kompos, mengeringkan daging beku, dan keterbatasan obat yang ada. Mereka bahkan haru tinggal dengan kondisi komunikasi yang tertunda selama 20 menit dengan orang-orang yang ada di luar kubah, dan ruang tinggal pribadi mereka lebih kecil dari lemari di dekat hotel.
Untuk hiburan, anggota kru merekomendasikan untuk membawa ukulele untuk melawan kebosanan saat berada di sana.
“Jika kamu adalah seseorang yang memiliki rasa ketidakpercayaan, mungkin anda bukan tipe orang yang ingin datang ke misi ini,” ujas Andrzej Stewart, kepala petugas teknik misi ini. “Anda harus menghindarkan perasaan itu untuk dapat merasakan pengalaman secara menyeluruh.”
Proyek ini sebenarnya dapat membantu penelitian untuk mempelajari bagaimana kelompok kecil bekerja sama dalam konteks perjalanan menuju ruang angkasa. Bagaimana keefektifan kinerja kru, kapan masa-masa berat itu datang, apa efek psikologi yang terjadi ketika terisolasi dari teman atau keluarga, dan bagaiamana kru terlatih untuk bertoleransi dengan lingkungan penuh tekanan.
“Yang kami telah temukan bukan hal yang mampu mencegah konflik. Ini adalah tentang bagaimana anda menghadapinya dan bagaimana anda merespon hal tersebut. Tidak secara individu, namun sebagai sebuah kerja sama kelompok.”
“Ini tentang kerja sama kru dan penampilan mereka, jadi bagaiamana kita menjaga kru tetap bekerja sama?” ujar kepala investigator HI-SEAS, Kim Binsted.
“Yang kami telah temukan bukan hal yang mampu mencegah konflik. Ini adalah tentang bagaimana anda menghadapinya dan bagaimana anda merespon hal tersebut. Tidak secara individu, namun sebagai sebuah kerja sama kelompok.”
Hal itu menjadi benar di kehidupan nyata sesungguhnya. Kepala kru Carmel Johnston mengatakan bahwa mereka mempelajari segala hal yang bisa saja salah ketika nanti berada di ruang angkasa dan mencegah hal itu terjadi.
Simulasi dalam simulasi
Setidaknya ada dua anggota yang menghadapi kematian salah satu dari anggota keluarga mereka ketika berada dalam simulasi. Anggota lainnya harus kehilangan momen pernikahan dan kelahiran. Liburan datang dan pergi, mereka merayakannya hanya lewat pesan singkat, email, dan rekaman video.
Namun kru menikmati teknologi Virtual Reality (VR) untuk pertama kalinya. Peneliti menghidupkan lingkungan VR dalam area terebut untuk membiarkan para anggota untuk membangun realitas mereka sendiri dan merasakan 30 pengalaman VR berbeda.
Tristan Bassingthwaighte memiliki waktu yang menyenangkan dengan lingkungan VR nya, dengan membangun sebuah rumah pohon.
“Saya mengambil ruang paling besar yang masih teredia, dan meletaknnya di sana, dan ini mulai menjadi gila,” ujar Bassingthwaighte. “Membuat sebuah lounge raksasa yang dipenuhi dengan seni alam dan air terjun dengan harimau yang menjaganya.
Di samping VR, waktu pribadi dan ruang sungguh minim. Melarikan diri dari kubah sama sekali dengan menjelajah dunia luar dengan perlengkapan ruang angkasa yang lengkap dan menghadapi area dengan pemandangan batuan vulkanik yang tajam.
“Anda membutuhkan waktu untuk anda sendiri. Orang-orang adalah mahluk sosial, namun tidak sepanjang waktu.”
“Ini menjadi waktu untuk menyendiri yang pernah saya lakukan selama setahun,” ujarnya. “Anda membutuhkan waktu untuk anda sendiri. Orang-orang adalah mahluk sosial, namun tidak sepanjang waktu.”
Tinggal di Mars dengan atmosfer yang membuat kita tak bisa bernafas, kurangnya air, dan hal-hal beracun, akan menjadi tantangan terberat bagi astronot. Namun psikologi mereka ketika mengarungi ruang angkasa juga menjadi perhatian. Tidak ada hari libur, dan secara konstan mereka akan menerima tekanan secara kemanusiaan.
“Kami merepresentasikan orang-orang di Bumi,” ujar Gifford. “Anda tidak dapat datang kesini, sehingga kami yang datang untuk anda.”