Lika Liku Komunitas Arab Berbisnis di Batavia Sejak Abad Ke-19

By Galih Pranata, Selasa, 28 Desember 2021 | 11:00 WIB
Potret pedagang Arab yang berdagang dan bermukim di Batavia. (Collectie Tropenmuseum)

Persaingan perdagangan di Hadramaut, agaknya menjadi alasan paling kuat hijrahnya etnis Arab Hadramaut ke Batavia. Adanya dominasi pedagang eksternal, dan dominasi produk impor membuat mereka menginginkan peruntungan yang lebih baik di luar dunia Arab.

"Hampir semua imigran Hadhrami (nama lain Hadramaut), bekerja dan berkembang melalui usaha dagang yang mereka dirikan di Batavia," ungkap Yusuf.

Semula, mereka bergantung pada usaha dagang milik bangsa pribumi (saudagar Batavia) atau bisnis milik orang-orang Cina. Mereka mengumpulkan modal dagang dari bekerja sebagai asisten toko atau menjadi reseller barang dagang Eropa untuk dijualnya kembali di Batavia.

Hanya saja, mereka tak seperti masyarakat Eropa yang menetap di Batavia. Seorang Arab yang kaya, jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. "Dengan jumlah uang yang relatif minim, sudah merupakan kekayaan bagi mereka," terusnya.

Komunitas Arab di Batavia, bisa dikatakan sebagai pesaing kuat golongan Cina dalam urusan dagang. Meski awal abad ke-19 mereka hanya memulia berdagang rempah, usaha para etnis Arab terus berkembang hingga bisnis garmen dan meubel.

Titik puncak perdagangan para etnis Arab, terjadi pada abad ke-19, kala mereka telah membangun kembali jaringan dagang dengan Maskat dan Mekkah.

Baca Juga: Arkeolog Temukan Sisa-Sisa Dua Kerajaan yang Terlupakan di Arab Saudi

Sayangnya, perdagangan mereka ke pelosok desa di Batavia, mendapat larangan keras dari pemerintah Hindia-Belanda, mengingat adanya kebijakan pembatasan areal dagang yang ditetapkan.

"Kala itu, komoditi utama dalam perdagangan etnis Arab adalah cita katun (bazz) dan katun India (qumaasy) yang diimpor dari Eropa," sambung Akhmad Yusuf.

Perjuangan dagang mereka tak selamanya berjalan lurus, cara-cara yang bahkan dilarang dalam ajaran Islam sekalipun mereka tempuh. "Masyarakat juga terkenal sering meribakan uang," lanjutnya. Meskipun menurut Yusuf, hanya sebagian kecil saja orang Arab yang melakukan riba dagang.

Sebagaimana terjadi krisis yang menimpa dunia pasca Perang Dunia I, tercatat pada periode 1912 hingga 1919, sejumlah 1.121 orang Arab berupaya untuk masuk ke Jawa untuk berdagang, mengindikasi mereka tetap berupaya untuk terus berdagang di Batavia.

Memasuki tahun 1915, dominasi perdagangan etnis Cina semakin terasa, lantaran para penduduk pribumi (khususnya orang Jawa) yang kurang meminati berdagang, ditambah etnis Arab yang tak hanya fokus dalam urusan dagang.

"Selain bisnis-bisnis dagang, masyarakat Arab juga mulai merambah seni hiburan," jelasnya. Kebanyakan dari mereka, mempertunjukkan seni Hadramaut atau kesenian Timur Tengah. Mereka berpentas di Istana-istana bangsawan.

Puncaknya, mereka tak hanya berjualan di kota pelabuhan Batavia, mereka juga mulai merambah pada bisnis perfilman, dimana kerjasamanya atas Mesir mulai memikat minat orang Betawi untuk menonton sejumlah produksi filmnya.

Sampai pada 1952, pasca meletusnya Revolusi Mesir, produksi film terhenti akibat pemutusan kerjasama dengan Mesir, membuat Shahab Production (rumah produksi film dari etnis Arab) harus beralih ke bisnis lainnya, toko dan tekstil.

Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara