Lika Liku Komunitas Arab Berbisnis di Batavia Sejak Abad Ke-19

By Galih Pranata, Selasa, 28 Desember 2021 | 11:00 WIB
Potret pedagang Arab yang berdagang dan bermukim di Batavia. (Collectie Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Sudah sejak lama, masyarakat Arab telah bermukim dan mendiami wilayah-wilayah Nusantara. Mereka berasal dari Hadramaut, dan sebagian lagi dari Maskat.

Sebagaimana disebutkan oleh Akhmad Yusuf yang menulis dalam jurnal Al-Turas, bahwa banyak data yang menunjukkan adanya pemukiman-pemukiman Arab di Nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan, bahkan puluhan ribu.

Jurnlanya berjudul Dinamika Ekonomi Masyarakat Arab di Batavia Tahun 1900-1942, publish pada volume XXII, Nomor 1, pada Januari 2016.

"Merujuk pada statistik dari hasil sensus penduduk yang dilaksanakan pada tahun 1885, secara rinci menyebut bahwa komunitas Arab yang bermukim di Jawa dan Madura, baik yang lahir di Arab maupun di Nusantara, sebanyak 10.888 orang," tulis Yusuf.

Memasuki abad ke-19, diperkirakan sekitar 400 etnis Arab an Moor bermukim di Batavia. Sebagian kecil lainnya, sebanyak 312 tinggal di Buitenzorg (sekarang Bogor) dan Tangerang. Tentunya, mereka memiliki peran khusus dalam perdagangan di Batavia.

"Sepanjang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Hadramaut sana, satu-satunya hasil panen yang bernilai komersial adalah tembakau Hamumi," tambahnya.

Persaingan perdagangan di Hadramaut, agaknya menjadi alasan paling kuat hijrahnya etnis Arab Hadramaut ke Batavia. Adanya dominasi pedagang eksternal, dan dominasi produk impor membuat mereka menginginkan peruntungan yang lebih baik di luar dunia Arab.

"Hampir semua imigran Hadhrami (nama lain Hadramaut), bekerja dan berkembang melalui usaha dagang yang mereka dirikan di Batavia," ungkap Yusuf.

Semula, mereka bergantung pada usaha dagang milik bangsa pribumi (saudagar Batavia) atau bisnis milik orang-orang Cina. Mereka mengumpulkan modal dagang dari bekerja sebagai asisten toko atau menjadi reseller barang dagang Eropa untuk dijualnya kembali di Batavia.

Hanya saja, mereka tak seperti masyarakat Eropa yang menetap di Batavia. Seorang Arab yang kaya, jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. "Dengan jumlah uang yang relatif minim, sudah merupakan kekayaan bagi mereka," terusnya.

Komunitas Arab di Batavia, bisa dikatakan sebagai pesaing kuat golongan Cina dalam urusan dagang. Meski awal abad ke-19 mereka hanya memulia berdagang rempah, usaha para etnis Arab terus berkembang hingga bisnis garmen dan meubel.

Titik puncak perdagangan para etnis Arab, terjadi pada abad ke-19, kala mereka telah membangun kembali jaringan dagang dengan Maskat dan Mekkah.

Baca Juga: Arkeolog Temukan Sisa-Sisa Dua Kerajaan yang Terlupakan di Arab Saudi

Sayangnya, perdagangan mereka ke pelosok desa di Batavia, mendapat larangan keras dari pemerintah Hindia-Belanda, mengingat adanya kebijakan pembatasan areal dagang yang ditetapkan.

"Kala itu, komoditi utama dalam perdagangan etnis Arab adalah cita katun (bazz) dan katun India (qumaasy) yang diimpor dari Eropa," sambung Akhmad Yusuf.

Perjuangan dagang mereka tak selamanya berjalan lurus, cara-cara yang bahkan dilarang dalam ajaran Islam sekalipun mereka tempuh. "Masyarakat juga terkenal sering meribakan uang," lanjutnya. Meskipun menurut Yusuf, hanya sebagian kecil saja orang Arab yang melakukan riba dagang.

Sebagaimana terjadi krisis yang menimpa dunia pasca Perang Dunia I, tercatat pada periode 1912 hingga 1919, sejumlah 1.121 orang Arab berupaya untuk masuk ke Jawa untuk berdagang, mengindikasi mereka tetap berupaya untuk terus berdagang di Batavia.

Memasuki tahun 1915, dominasi perdagangan etnis Cina semakin terasa, lantaran para penduduk pribumi (khususnya orang Jawa) yang kurang meminati berdagang, ditambah etnis Arab yang tak hanya fokus dalam urusan dagang.

"Selain bisnis-bisnis dagang, masyarakat Arab juga mulai merambah seni hiburan," jelasnya. Kebanyakan dari mereka, mempertunjukkan seni Hadramaut atau kesenian Timur Tengah. Mereka berpentas di Istana-istana bangsawan.

Puncaknya, mereka tak hanya berjualan di kota pelabuhan Batavia, mereka juga mulai merambah pada bisnis perfilman, dimana kerjasamanya atas Mesir mulai memikat minat orang Betawi untuk menonton sejumlah produksi filmnya.

Sampai pada 1952, pasca meletusnya Revolusi Mesir, produksi film terhenti akibat pemutusan kerjasama dengan Mesir, membuat Shahab Production (rumah produksi film dari etnis Arab) harus beralih ke bisnis lainnya, toko dan tekstil.

Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara