Setelah peristiwa penyerangan Pearl Harbour dan Asia Tenggara pada 7 Desember 1941, Tentara kekaisaran Jepang melakukan penaklukan pada separuh area Asia hingga menahan puluhan ribu tawanan perang.
Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) mencoba untuk melakukan penyelamatan kepada para korban tawanan perang Jepang. Hal tersebut dilakukan mengacu pada Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang, yang kala itu belum diratifikasi oleh Jepang.
Langkah para utusan ICRC untuk menyelamatkan para tawanan dengan meminta daftar tawanan perang pada pihak yang bertikai tak semulus itu. Meski Jepang menerima utusan ICRC di Jepang, Shanghai, dan Hongkong, serta kantor pusat informasi tawanan perang, namun nasib sebaliknya diterima oleh utusan ICRC di Bangkok, Borneo, Jawa, Manila, dan Sumatera. Jepang menolak kehadiran mereka.
Utusan ICRC pun akhirnya melakukan banyak kunjungan ke beberapa kamp tawanan Jepang di Indonesia dengan mendistribusikan obat serta bantuan. Hal itu terus mereka lakukan selama masa perjuangan kemerdekaan dan tahun-tahun awal berdirinya Indonesia.
Kini, hubungan antara ICRC dan Indonesia terus dibangun hingga mencapai usia 70 tahun. Hasil dari kerjasama itu berhasil menyelamatkan begitu banyak nyawa korban bencana alam maupun bencana buatan manusia hingga konflik bersenjata di Indonesia.
“Sejak kemerdekaan Indonesia 71 tahun lalu, ICRC telah hadir untuk menjawab dan menghadapi tantangan-tantangan kemanusiaan yang dihadapi oleh korban-korban bencana besar serta konflik bersenjata,” ujar Christoph Sutter, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Timur dalam pembukaan pameran foto bertajuk ’70 Tahun ICRC Bersama Indonesia’ di Atrium Setiabudi Building, Jakarta pada Selasa 20 September 2016.
.
Kerjasama antara kedua organisasi itu telah melalui sejumlah misi penyelamatan dan pemberian bantuan, seperti konflik yang terjadi di Timor Timur dan Aceh, merapatnya manusia kapal ke Vietnam, kekerasan yang terjadi di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, hingga bencana Tsunami yang menyerang Aceh dan Nias beberapa tahun lalu.
ICRC bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) juga banyak memainkan peran penting dalam repratriasi warga negara Belanda dari Indonesia pada tahun 1950 hingga 1964. Bentuk bantuan untuk mendukung repratriasi tersebut seperti pembayaran pensiun dari negara Belanda bagi warganya hingga pemindahan warga Belanda kembali ke negaranya.
Tanpa adanya hubungan diplomatik selama setahun antara Indonesia dan Belanda, pada tahun-tahun ini, ICRC berusaha menjadi perantara netral di antara kedua negara tersebut. Hal tersebut ditandai dengan penyerahan NERKAI (Palang Merah Belanda) dengan PMI. Pada 29 Juni 1956, Presiden Soekarno sendiri sempat mengunjungi Kantor Pusat ICRC di Jenewa, Swiss.
Tahun 1965 hingga 1974, ICRC bekerja cukup keras ditengah kondisi sulit pasca kudeta gagal yang melibatkan Partai Komunis Indonesia. Utusan ICRC juga diberi wewenang untuk mengunjungi 250 tahanan di Mataran kala bentrok yang terjadi di Lombok pada akhir tahun 1965 silam. Bekerja sama dengan PMI, ICRC turut membantu 50.000 warga Tionghoa di wilayah Kalimantan Barat saat kondisi genting tersebut terjadi.
Tak hanya kunjungan dan bantuan yang berikan kepada para tahanan, ICRC dan PMI juga turut mengumpulkan informasi orang hilang tahun 1975. Kala itu, Portugal keluar dari Timor Timur, sedangkan ICRC belum mendapatkan akses untuk masuk ke wilayah tersebut. Empat tahun kemudian, bersama PMI, ICRC kembali dapat memberikan bantuan kemanusiaan di sana.
Aceh menjadi daerah yang tak luput dari bantuan kemanusiaan ICRC. Wilayah yang kala itu tengah didera konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut memperoleh kunjungan ICRC dan PMI tahun 1991 dan 1994. Hingga akhirnya ICRC pun meluncurkan program bantuan bagi janda korban perang dan korban kekerasan tahun 1998.