Nationalgeographic.co.id—Takmad adalah seorang yang paling berjasa dan disegani dalam sejarah kemunculan suku Dayak Bumi Segandu. Kisahnya bermula saat para nelayan Indramayu tengah mencari ikan di Jakarta sekitar tahun 1974.
Masyarakat Indramayu memang dikenal ahli dalam mencari ikan. Kala itu, pada 1974, mereka tengah berlayar di Kepulauan Seribu, Jakarta. Sampai akhirnya perahu mereka bersandar di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Nuhrison M. Nuh mengisahkan tentang kilas balik sejarah bermulanya ajaran Dayak Bumi Segandu. Ia menulisnya pada jurnal Harmoni, Kemenag RI, berjudul Dinamika Perkembangan Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu, pada tahun 2012.
Takmad yang kala itu berusia 28 tahun, dikenal memiliki berbagai ilmu, mulai dari pengobatan, ilmu bela diri, hingga ilmu kebatinan. Dalam sela waktunya mencari ikan, tak jarang dia mempraktikan kemampuannya pada rekan nelayannya.
Selama pelayarannya di Jakarta, banyak orang yang menginginkan dirinya kembali ke Indramayu untuk mengajarkan kemampuan yang ia miliki. Hingga akhirnya dia kembali dan menetap di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.
Lepas dari pekerjaannya sebagai nelayan, Takmad memulai perguruannya di padepokan di Indramayu. "Pada awal berdirinya, murid-murid Takmad memakai pakaian biasa, kemudian memakai pakaian hitam-hitam," tulis Nuhrison.
"Sekarang, murid utamanya yang berjumlah 90 orang, tidak pakai baju (bertelanjang dada), hanya memakai celana sampai kelutut, dengan warna hitam dan putih," imbuhnya.
Sejak tahun 1998, Padepokan itu dikenal dengan nama Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu. Saat ini jumlah pengikutnya telah berkisar 7.000 orang, dengan murid inti sebanyak 90 orang.
"Lokasi padepokan mereka terletak tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, disepanjang lajur sebelah kanan jalan by pass dari arah Jakarta ke Cirebon," lanjutnya.Ajaran yang dikembangkan oleh Takmad Diningrat disebut dengan Sajarah Alam Ngaji Rasa. Konsep ngaji rasa berbunyi 'jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan isteri'.
"Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agama, maupun akar budaya tertentu," ungkap Nuhrison.
Mereka berusaha mencari pemurnian diri dengan mengambil teladan sikap dari perilaku tokoh pewayangan, Semar dan Pendawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggung jawab terhadap keluarga.
"Beberapa puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih-hitam, duduk mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo," sambungnya.