Temuan Terlangka, Fosil Alat Kelamin Serangga Berusia 50 Juta Tahun

By Agnes Angelros Nevio, Rabu, 29 Desember 2021 | 12:00 WIB
Fosil Aphelicophontes danjuddi, genus dan spesies baru serangga pembunuh, disertai dengan fosil kumbang kecil ()

Nationalgeographic.co.id—Catatan fosil lebih dari sekadar dinosaurus raksasa. Faktanya, beberapa fosil yang paling mengesankan bukanlah tulang raksasa seperti pilar, melainkan sisa-sisa organisme kecil dan halus. Fosil-fosil itu terkubur dalam kondisi yang tepat untuk mengungkapkan dunia yang hilang pada jutaan tahun setelah kematian mereka kepada kita. Sebuah fosil serangga pulih dari strata kuno Colorado menawarkan satu jendela seperti itu ke masa lalu.

Fosil kutu pembunuh, seperti yang dijelaskan di Papers in Palaeontology, telah menarik perhatian paleontologis karena spesimen langka memiliki alat kelaminnya yang utuh. Terkelupas dari batu berusia 50 juta tahun, serangga ini terawetkan dengan sangat indah sehingga seolah terlihat siap untuk merangkak keluar dari batu. Bahkan, pita berwarna di sepanjang kaki dan tubuh serangga terlihat. Situasi inilah yang mambuat peneliti mampu menyatukan rangkaian cerita serangga Eosen ini.

Serangga itu berasal dari masa ketika danau-danau luas menutupi petak-petak yang akan menjadi Amerika Serikat bagian barat. Kawasan ini dikelilingi oleh hutan semitropis yang menampung kerabat lemur, kelelawar purba, dan makhluk lain. Danau ini dengan cepat mengubur organisme yang menetap di dasar yang minim oksigen. Alam telah menekan organisme-organisme itu menjadi setipis kertas selama 50 juta tahun. Dikenal sebagai Formasi Green River, satuan batuan ini telah menghasilkan beberapa fosil paling indah dan terperinci dari yang pernah ditemukan.

Ahli paleontologi bukan satu-satunya orang yang tertarik dengan fosil Green River. Tambang milik swasta mengkhususkan diri dalam mengekstraksi, membersihkan dan menjual fosil dari Formasi Green River, terutama spesies langka. Begitulah setengah dari fosil serangga pembunuh yang ditampilkan dalam penelitian ini menjadi milik kolektor fosil pribadi dan rekan penulis studi Yinan Wang. Kabarnya setengah lainnya dimiliki oleh kolektor pribadi lain, Dan Judd, yang menyumbangkan potongan kedua kepada para peneliti.

Fosil kutu pembunuh bernama Aphelicophontes danjuddi, nama yang diberikan untuk menghormati sumbangan Judd. Perkara yang membuatnya benar-benar istimewa adalah alat kelamin fosil serangga ini dapat dilihat secara detail. Inilah aspek anatomi penting yang sering digunakan ahli entomologi untuk membedakan serangga pembunuh satu dengan lainnya.

Dalam istilah teknis, kata ahli entomologi dan penulis studi dari University of Illinois di Urbana-Champaign Daniel Swanson, organ genital serangga pembunuh disebut pygophore. “Kata itu berasal dari dua akar kata Yunani Kuno yang secara harfiah berarti 'pantat' dan 'sesuatu yang membawa,' kata Swanson.

Organ adalah cangkir anatomi mengeras yang mengelilingi alat kelamin seperti exosekeleton serangga yang mengelilingi tubuh. Meskipun berusia sekitar 50 juta tahun, Aphelicophontes danjuddi memiliki alat kelamin yang mirip dengan serangga pembunuh saat ini. Pengaturan dasarnya tetap sama sejak zaman Eosen, bahkan ketika perbedaan tipis membedakan satu spesies dari spesies lainnya.

"Ini jelas merupakan contoh pelestarian yang luar biasa," kata ahli paleontologi University of Colorado Boulder Dena Smith, yang tidak terlibat dalam studi ini. Pertama-tama, serangga pembunuh jarang ditemukan dalam catatan fosil. Meskipun ada lebih dari 7.000 spesies serangga yang sama hidup hari ini, hanya sekitar 50 spesies yang pernah ditemukan sebagai fosil.

Lebih dari itu, Aphelicophontes danjuddi bukan sekadar penemuan. Seluruh tubuh hingga anatomi reproduksinya telah terawetkan. “Alat kelamin adalah karakteristik penting serangga yang sering digunakan untuk menggambarkan dan mendefinisikan spesies,” kata Smith, terutama karena mereka sangat jarang terlihat pada fosil serangga pembunuh . Untuk arthropoda ini, anatomi genital sama khasnya dengan sidik jari dalam menentukan siapa dan siapa.

Menemukan bukti langsung dari alat kelamin fosil ini memang kasus yang jarang. Bahkan dalam kasus di mana hewan kawin telah ditemukan—seperti pasangan hiu prasejarah atau kura-kura yang tertangkap basah saat kawin. Anatomi jaringan lunak itu sebenarnya biasanya hilang. Hal yang sama berlaku untuk serangga. Fosil arthropoda telah ditemukan dalam posisi kawin sebelumnya, tetapi sebenarnya kemampuan untuk melihat dengan jelas anatomi genital mereka tidak pernah terdengar.

Pygophore yang terawetkan bukanlah satu-satunya alasan pentingnya penemuan Aphelicophontes danjuddi. Sementara Formasi Green River terkenal dengan vertebrata luar biasa yang telah ditemukan di sana—mulai dari buaya hingga kuda purba dan burung yang diawetkan dengan bulu.

Serangga seringkali dapat mengungkapkan lebih banyak tentang habitat prasejarah. “Banyak kelompok serangga memiliki kebutuhan lingkungan yang cukup spesifik untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka,” kata Smith, “yang dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang kondisi lingkungan masa lalu.”

Baca Juga: Mungkinkah Serangga Bisa Menjadi Alternatif Pengobatan di Masa Depan?

Di situs Formasi Green River di Wyoming, misalnya, ahli paleontologi telah menemukan bahwa spesies tanaman prasejarah tertentu tumbuh di kantong-kantong kecil—bukan menyebar ke mana-mana. Tumbuhan ini mendukung komunitas serangga yang unik, yang dideteksi oleh peneliti dengan melihat pola kerusakan daun. Serangga pembunuh, pada bagian mereka, kemungkinan memangsa serangga herbivora ini, dan sekarang ahli paleontologi dapat melihat bagaimana serangga seperti Aphelicophontes danjuddi cocok dengan pola yang lebih luas tentang siapa dan tinggal di mana.

Serangga pembunuh baru juga membentuk bagian penting dari jaring makanan kuno, terutama karena mereka sering menjadi menu makanan bagi banyak vertebrata karismatik. Pada 2019, peneliti menamai burung mirip kutilang yang disebut Psittacopes dari formasi yang sama. Paruh burung ini secara khusus disesuaikan untuk mencabuti serangga dari kulit kayu, dan Aphelicophontes danjuddi pasti ada di menu.

“Mempelajari fosil serangga tidak hanya memungkinkan kita memahami ekosistem masa lalu,” kata Smith, “tetapi juga membantu kita memahami sejarah evolusi dan ekologi kelompok penting ini.”

Baca Juga: Mengenal Meganeura, Serangga Terbesar yang Pernah Hidup di Bumi