Bagaimana Ilmuwan Tahu Gurita, Kepiting, Lobster Bisa Merasakan Sakit?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 30 Desember 2021 | 12:00 WIB
Hidangan sannakji, gurita yang dimakan hidup-hidup. (Flickr/Lyu Slide)

Empat kriteria yang tersisa berfokus pada perilaku hewan. Bisakah para hewan menukar risiko cedera dengan peluang untuk mendapatkan hadiah? Apakah hewan-hewan itu cenderung ke lokasi spesifik cedera, dan dapatkah hewan-hewan itu belajar menghindari rangsangan yang terkait dengan cedera, misalnya?

"Kami juga menyelidiki apakah mereka (hewan-hewan itu) mendapat manfaat dari anestesi atau obat penghilang rasa sakit saat terluka. Perilaku ini, yang membedakan reaksi kaku dan refleks terhadap cedera, seperti menarik tangan yang terbakar, dari respons fleksibel, dianggap sebagai bukti rasa sakit," papar para peneliti.

"Kami menemukan bukti terkuat untuk perasaan pada hewan-hewan sefalopoda. Para gurita adalah bintangnya. Dengan sekitar 170 juta sel otak, mereka (para gurita) memiliki rasio otak-ke-tubuh yang lebih tinggi daripada kebanyakan reptil dan ikan. Hal ini memungkinkan para gurita untuk melakukan prestasi belajar dan memori yang luar biasa."

Baca Juga: Akhirnya Gurita Dinyatakan Sebagai Binatang, Selama Ini Dianggap Apa ?

"Para gurita juga berperilaku dengan cara yang sangat menunjukkan pengalaman rasa sakit. Misalnya, dalam sebuah penelitian baru-baru ini, mereka (para gurita) diberi tiga ruang untuk dijelajahi. Injeksi dengan asam asetat di ruang yang awalnya mereka sukai menyebabkan para gurita menghindari ruang itu sejak saat itu. Para gurita yang terluka belajar untuk memilih ruang alternatif, di mana anestesi lokal tersedia. Anestesi ini membungkam aktivitas saraf antara lokasi cedera dan otak. Temuan serupa pada mamalia diambil untuk menunjukkan pengalaman subjektif nyeri ini."

Selain pada hewan-hewan sefalofopoda, para peneliti juga menemukan kemampuan merasakan sakit juga dimiliki oleh hewan-hewan dekapoda. Salah satunya adalah udang karang.

Para peneliti mencatat, setidaknya ada 750 spesies sefalopoda dan 15.000 spesies dekapoda di dunia ini, lebih dari dua kali lipat jumlah total spesies mamalia. Sebagian besar spesies ini belum pernah dipelajari secara rinci. Namun menurut para peneliti, hewan-hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) ini harus diperlakukan dengan cara yang sama seperti hewan-hewan vertebrata (bertulang belakang).

"Itu berarti melindungi hewan-hewan yang kurang dipelajari, jika itu masuk akal, untuk menggeneralisasi dari bukti kuat pada spesies-sepsies yang dipelajari lebih baik. Prinsip ini membuat kami merekomendasikan perluasan perlindungan untuk semua moluska sefalopoda dan semua krustasea dekapoda."

Menurut para peneliti, mengakui hewan-hewan ini sebagai makhluk hidup tidak diragukan lagi merupakan langkah maju untuk undang-undang kesejahteraan hewan Inggris, yang saat ini berlaku hampir secara eksklusif untuk hewan-hewan vertebrata. Beberapa negara lain, seperti Selandia Baru, Norwegia, dan Swedia, telah memberikan perlindungan hukum terhadap hewan-hewan invertebrata. Ini mencakup isu-isu seperti penyimpanan dan penyembelihan hewan-hewan dekapoda dalam industri makanan.

"Kami berharap laporan kami memulai percakapan yang lebih luas tentang bagaimana hewan-hewan ini dapat diperlakukan secara manusiawi sehingga kami dapat meminimalkan rasa sakit dan penderitaan mereka," harapan para peneliti.

Baca Juga: Prancis Bakal Melarang Penggunaan Hewan untuk Sirkus dan Pertunjukan