DNA Manusia Diekstraksi dari Telur Kutu Pada Mumi di Amerika Selatan

By Maria Gabrielle, Kamis, 30 Desember 2021 | 05:34 WIB
Telur kutu ditemukan di mumi berusia 1.500 hingga 2.000 tahun di Argentina. (Universidad Nacional de San Juan)

Nationalgeographic.co.id—Tim peneliti berhasil mengekstak DNA dari semen kutu rambut yang ditemukan pada mumi purba di Amerika Selatan. Semen tersebut digunakan untuk merekatkan telur (nit) kutu rambut di kepala.

Menurut tim yang dipimpin oleh University of Reading, Inggris, DNA yang diekstraksi dari semen tersebut memiliki kualitas lebih baik. Tidak hanya itu, temuan ini mengandung lebih banyak DNA daripada gigi.

Dilansir dari Daily Mail, studi ini mengungkapkan petunjuk tentang pola migrasi manusia pra-Columbus di seluruh Amerika Selatan. Termasuk bahwa penduduk asli provinsi San Juan bermigrasi dari tanah dan hutan hujan Amazon di bagian utara benua.

“Ada pencarian alternatif sumber DNA manusia purba dan semen nit mungkin menjadi salah satu alternatif itu,” ujar Dr Mikkel Winther Pederson dari Universitas Kopenhagen, Denmark yang turut dalam studi kepada Daily Mail.

Mereka mendapat DNA dari telur kutu rambut yang ditemukan pada mumi berusia 1.500 hingga 2.000 tahun di Argentina. Peneliti menjelaskan, hal ini dimungkinkan karena sel-sel kulit dari kulit kepala terbungkus dalam semen yang diproduksi kutu betina saat menempelkan telur ke rambut.

Para ahli meyakini metode ini memungkinkan sampel yang lebih unik untuk dipelajari dari sisa-sisa manusia, bahkan ketika tidak ada sampel tulang atau gigi yang tersedia. Studi ini telah dipublikasikan di jurnal Molecular Biology and Evolution dengan judul Ancient human genomes and environmental DNA from the cement attaching 2.000 year-old head lice nits pada 28 Desember 2021.

Dr. Alejandra Perotti, pemimpin penelitian ini mengatakan kutu rambut telah bersama manusia sepanjang keberadaan mereka, maka dari itu metode baru ini dapat membuka pintu kepada informasi berharga tentang nenek moyang sembari melestarikan spesimen unik. Diketahui tengkorak dan sisa-sisa dari gigi tidak selalu tersedia, karena dapat menjadi tidak etis atau bertentangan dengan kepercayaan budaya untuk mengambil sampel dari sisa-sisa awal penduduk asli.

Kerusakan parah akibat pengambilan sampel yang merusak spesimen juga membuat ekstraksi dari tengkorak dan gigi ini tabu, serta membahayakan analisis ilmiah di masa depan. Oleh karena itu, memulihkan DNA dari semen yang dibawa oleh kutu merupakan solusi untuk masalah tersebut, terutama karena telur kutu biasanya ditemukan pada rambut dan pakaian manusia yang diawetkan dengan baik dan dimumikan.

Tim juga mempelajari telur kutu rambut manusia pada tekstil dari Chili dan di kepala yang mengerut milik orang Jivaroan kuno di Ekuador Amazon. Dari sampel semen telur kutu mengandung konsentrasi DNA yang sama dengan gigi, dua kali lipat sisa tulang dan empat kali dari darah di dalam spesimen kutu yang jauh lebih baru.

“Jumlah hasil DNA yang tinggi dari semen nit ini benar-benar mengejutkan kami dan mengejutkan bagi saya bahwa jumlah kecil seperti itu masih bisa memberi kita semua informasi tentang siapa orang-orang ini, dan bagaimana kutunya. Terkait dengan spesies kutu lainnya tetapi juga memberi kita petunjuk tentang kemungkinan penyakit virus,” terang Dr Winther Pedersen.

‘Semen’ digunakan untuk merekatkan telur (nit) kutu rambut di kepala. (University of Reading)

“Ada pencarian sumber alternatif DNA manusia purba dan semen nit mungkin menjadi salah satu alternatif itu. Saya percaya bahwa studi masa depan diperlukan sebelum kita benar-benar mengungkap potensi ini,” lanjutnya.

Lebih lanjut, tim mengungkapkan hubungan genetik antara tiga mumi dan manusia lain yang diketahui hidup di Amazonia 2.000 tahun lalu. Mereka mengemukakan penduduk asli provinsi San Juan bermigrasi dari tanah dan hutan hujan Amazon, di daerah selatan Venezuela dan Kolombia saat ini.

Selain itu, didapati pula bahwa semua sisa-sisa manusia purba yang dipelajari berasal dari pendiri garis keturunan mitokondria di Amerika Selatan. Semua mumi kemungkinan terkena suhu yang sangat dingin ketika mereka meninggal, yang bisa menjadi faktor kematian mereka.

Baca Juga: Kondisi Temuan Mumi di Peru: Tubuh Diikat Tali & Wajah Tertutup Tangan