Kisah Fotografer Moises Saman Mengabadikan Horor ISIS

By , Senin, 24 Oktober 2016 | 13:00 WIB

Berbagai risiko yang mengancam nyawa tak pernah menghalangi Moises Saman, fotografer Spanyol-Amerika, untuk memotret zona konflik di Timur Tengah. Bahkan, Ia tak menghentikan langkahnya meski pernah dibui di Abu Ghraib selama seminggu pada 2003, dan selamat dari kecelakaan  helikopter pada 2014 di Iraq.

Karya terbaru Saman meliputi kisah paling besar di kawasan ini: Negara Islam dan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh berkembangnya kelompok teror. Foto-foto terbaru Saman menampilkan para pengungsi yang melarikan diri dari ISIS ketika tentara Irak berusaha merebut kembali Kota Mosul.

Rangkaian 30 foto menjadi corong suara bagi kota yang terkoyak oleh teror, lumpuh akibat ketidakpastian, dan loyalitas sekterian, dengan perbedaan keruh antara mana yang baik dan berbahaya.

Kepada National Geographic, Saman berbagi kisah seputar pengalamannya menjadi fotografer perang, risiko dalam fotografi perang, dan masa depan Timur Tengah.

Anda bekerja di negara-negara dengan pemerintahan yang tak stabil dan berbagai kelompok sekterian. Apa yang menjadi daya tarik utamanya?

Ini lebih ke dorongan untuk memahami negara-negara tersebut. Mungkin terdengar klise, tetapi lebih banyak waktu yang Anda habiskan untuk memahaminya, semakin sedikit yang benar-benar Anda pahami. Saya benar-benar berpikir bahwa wilayah ini terus menerus disalahpahami. Saya tidak mendapatkan semua jawaban atau pun wawasan khusus. Wilayah ini menarik dalam hal kompleksitasnya. Selain itu juga bisa menjadi tempat yang sangat tidak menyenangkan untuk bekerja karena ketidakstabilan dan kekerasannya. Tetapi bagi saya, wilayah ini menjadi bagian dunia yang membentuk masa ketika kita hidup. Itu merupakan masa yang penting.

Seorang pria yang telah mengungsi akibat ISIS berjalan sepanjang jalan padang pasir dekat kota Khaldiyah di Provinsi Anbar, Irak. (Moises Saman via National Geographic)

Anda pernah dibui di Abu Ghraib pada 2003. Seperti apa rasanya?

Saat itu saya merupakan staf di Newsday dalam minggu-minggu sebelum invasi pada 2003. Karena kami tak bisa mendapatkan visa jurnalis, kami memasuki negara dengan visa lain. Kami ditahan karena memasuki negara dengan visa yang tidak sesuai, dan kemudian dibawa ke Abu Ghraib. Saat itu merupakan minggu ketika Amerika memulai invasi, sehingga minggu itu penuh kekacauan besar. Kami diinterogasi, tetapi tidak disiksa secara fisik atau dipukul. Tekanan dari tokoh-tokoh penting seperti Yasser Arafat dan tokoh-tokoh Vatikan terlibat dalam pembebesan kami. Lantas, kami dibawa ke perbatasan Yordania untuk dibebaskan.

Satu hal yang Anda amati adalah bagaimana ISIS mengubah ruangan biasa menjadi ruang penyiksaan, dan sekolah, rumah sakit serta rumah penduduk menjadi penjara. Bisa jelaskan?

Mereka membuat ruangan-ruangan ini karena kebutuhan. Ruangan tersebut menjadi semacam tempat rahasia sehingga mereka luput dari perhatian. Semacam strategi untuk memiliki tempat-tempat yang tak terdeteksi.

Seorang tentara Kurdi Peshmerga membawa bayi yang baru lahir di zona netral yang memisahkan wilayah kekuasaan ISIS dari lini depan Peshmerga di Bashiqa, Irak. (Moises Saman via National Geographic)

Sebagian besar fotografi melibatkan kepercayaan, namun dalam konflik marak semacam ini, bagaimana hal ini bisa dilakukan?

Hal itu tergantung pada situasi yang sedang terjadi. Dalam kondisi kekerasan, seperti kerusuhan atau unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan, Saya cenderung bekerja secepat mungkin. Saya tidak membuang-buang waktu. Saya juga bekerja dengan menggunakan sebuah kamera kecil, sehingga saya sebisa mungkin tak menonjolkan diri. Saya tidak ingin terlihat seperti fotografer atau dikenali sebagai jurnalis.

Suatu waktu, Anda bisa pergi tanpa menarik perhatian sama sekali. Tetapi akan lebih sering terlibat dan menjadi bagian dari apa yang sedang terjadi. Pendekatan berbeda untuk situasi berbeda—dan sudah jelas bahwa situasi bisa berubah begitu cepat.