Kesaksian Anak Indekos di Indonesische Club

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 5 November 2016 | 16:30 WIB

“Harapan saya jangan hendaknya pemuda-pemuda kita sekarang mengadakan perkumpulan atau kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan. Himpunlah semua kekuatan dalam wadah seperti yang kini dimiliki oleh Pramuka Indonesia.”

Sepanjang ingatannya, sejumlah pemuda lain yang turut indekos di gedung itu kelak menjadi pejabat dalam pemerintahan Soekarno. Mohammad Jamin asal Sawahlunto (kelak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), Amir Sjarifoedin asal Medan (kelak Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan), Adnan Kapau Gani asal Agam (kelak Wakil Perdana Menteri, Menteri Perekonomian dan Kemakmuran), Aboe Hanifah asal Padang Panjang (kelak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Duta Besar di Roma).

Lalu bagaimana nasib Soeharto?

Tidak lama setelah Kongres Pemuda II, dia pindah ke pemondokan lebih mewah di Jalan Tanah Komandan, yang menurutnya memiliki suasana lebih tenang untuk belajar. Dia mendapat gelar ilmiah “Arts” ( dokter ) dari GHS pada 25 Mei 1935. Dari institusi yang sama, dia juga mendapat gelar ilmiah “Medicinae Doctorem” (doktor) pada 14 April 1937. Sepanjang 1942-66, dia menjabat sebagai dokter pribadi Sukarno.  Dialah yang memberikan suntikan chinine-urethan dan tablet broomchinine kepada Soekarno yang sedang demam malaria nan hebat beberapa saat jelang Proklamasi Kemerdekaan. Dia juga turut memprakarsai lahirnya Universitas Gadjah Mada pada 1949, dan lahirnya Ikatan Dokter Indonesia pada 1950. Sementara, gelar Mayor Jenderal Tituler dianugerahkan kepadanya pada 7 Agustus 1964.  

“Corak masyarakat kita nanti banyak ditentukan oleh corak pemuda kita sekarang ini,” tulis Raden Soeharto dalam paragraf terakhir catatannya setelah setengah abad peristiwa di Indonesische Club. “Harapan saya jangan hendaknya pemuda-pemuda kita sekarang mengadakan perkumpulan atau kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan. Himpunlah semua kekuatan dalam wadah seperti yang kini dimiliki oleh Pramuka Indonesia.”