Tetapi, hanya 40 persen di antaranya yang mengatakan memiliki peralatan yang tepat untuk melakukan pekerjaan mereka, seperti sepatu bot dan GPS. Lebih dari setengah mengatakan bahwa mereka sudah mendapatkan pelatihan yang memadai.
“Donatur dari luar Afrika menginginkan solusi berteknologi tinggi seperti drone dan sensor tanah, tetapi tak mendengar kebutuhan atas baju hangat, sepatu bot, dan makanan yang lebih baik bagi para jagawana ,” kata Peter Newland, direktur pelatihan di perusahaan keamanan pribadi di Afrika kepada New York Times, November silam.
“Grup nonpemerintah (LSM) raksasa menghabiskan sejumlah besar uang, tetapi masih ada jagawana yang menelepon saya untuk meminta kaus kaki,” tambahnya.
Para jagawana sering beroperasi di kondisi semacam medan perang, membuat kekurangan persediaan dasar dan pelatihan menjadi sangat problematik. Sementara itu, para pemburu cenderung lebih berani dan lebih canggih. Bahkan terkadang menggunakan senjata kelas militer dan menembak langsung pada jagawana yang sedang berpatroli.
Selama dekade terakhir, lebih dari seribu jagawana tewas saat melaksanakan tugas, demikian lapor The Guardian. Lebih dari sepertiganya tewas dibunuh oleh pemburu. Thin Green Line Foundation, LSM yang mendukung jagawana taman nasional di seluruh dunia menunjukkan bahwa sebagian besar kematian jagawana terjadi di Afrika Timur dan Asia.
Karena sangat berbahaya dan honornya rendah, menurut survey WWF, lebih dari setengah jagawana tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak mereka dalam berkarir.