Seorang jagawana tewas terbunuh dan seorang lainnya mengalami luka serius di Taman Nasional Virunga, Republik Demokratik Kongo, minggu ini oleh anggota milisi.
Serangan ini menggarisbawahi bahaya yang harus dihadapi setiap hari oleh mereka yang berada di garis depan konservasi.
Virunga merupakan salah satu taman nasional tertua dan paling berbahaya di dunia. Lebih dari 150 jagawana telah dibunuh selama satu dekade terakhir oleh FDLR, kelompok pemberontak Hutu Rwanda, dan mai-mai, istilah yang mengacu pada berbagai kelompok milisi berbasis masyarakat yang dibentuk selama dua perang Kongo.
Korban tewas, Patrick Prince Muhayirwa, 26, dan korban luka, Jean Claude Muhindo Mastaki, merupakan bagian dari patroli anti perburuan. Mereka disergap di tepi Danau Edward, dekat perbatasan Uganda.
“Jagawana Muhayirwa merupakan jagawana muda yang berdedikasi tinggi, dan taman nasional berkabung karena kehilangan dirinya,” kata direktur taman nasional, Emmanuel de Merode.
Taman nasional yang menjadi Situs Warisan Dunia ini merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati, termasuk gorila gunung yang terkenal. Tetapi dekade penuh konflik dan salah manajemen menghujamkan bayangan mematikan pada lebih dari 300 penjaga yang patroli dan menjaga taman nasional ini beserta satwa liarnya.
Selama bertahun-tahun, para jagawana taman nasional menggantungkan hidup dari pekerjaan yang hasilnya tak seberapa. Gaji mereka, ketika dibayarkan, hampir tak mencukupi kebutuhan dasar. Tetapi setelah de Merode mengambil alih sebagai direktur taman nasional pada 2008 silam, semuanya mulai berubah.
“Kondisi sebelum ini amat sangat buruk,” kata Augustin Rwimo, jagawana berusia 28 tahun.
“Tetapi kini kami bisa makan tiga kali sehari dan semua jagawana yang bekerja mampu menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian besar jagawana juga telah membangun rumah mereka sendiri,” tambahnya.
Meski begitu, tetap saja profesi ini sangat berbahaya. Selain harus berhadapan dengan pemberontak pemerintah, jagawana Virunga juga harus mempertahankan wilayah dari pemanen arang, pemburu dan nelayan ilegal. Perambahan hutan oleh para penduduk yang bertani turut menghadirkan tantangan lain.
Jagawana membutuhkan
Di luar Virunga, banyak jagawana di taman nasional-taman nasional dan cagar alam Afrika tak menerima dukungan dan persediaan yang mereka butuhkan.
Sebuah survey oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun ini menemukan bahwa sekitar 82 persen dari 570 jagawana yang disurvey mengatakan bahwa mereka kerap menghadapi situasi yang mengancam nyawa saat bertugas.
Tetapi, hanya 40 persen di antaranya yang mengatakan memiliki peralatan yang tepat untuk melakukan pekerjaan mereka, seperti sepatu bot dan GPS. Lebih dari setengah mengatakan bahwa mereka sudah mendapatkan pelatihan yang memadai.
“Donatur dari luar Afrika menginginkan solusi berteknologi tinggi seperti drone dan sensor tanah, tetapi tak mendengar kebutuhan atas baju hangat, sepatu bot, dan makanan yang lebih baik bagi para jagawana ,” kata Peter Newland, direktur pelatihan di perusahaan keamanan pribadi di Afrika kepada New York Times, November silam.
“Grup nonpemerintah (LSM) raksasa menghabiskan sejumlah besar uang, tetapi masih ada jagawana yang menelepon saya untuk meminta kaus kaki,” tambahnya.
Para jagawana sering beroperasi di kondisi semacam medan perang, membuat kekurangan persediaan dasar dan pelatihan menjadi sangat problematik. Sementara itu, para pemburu cenderung lebih berani dan lebih canggih. Bahkan terkadang menggunakan senjata kelas militer dan menembak langsung pada jagawana yang sedang berpatroli.
Selama dekade terakhir, lebih dari seribu jagawana tewas saat melaksanakan tugas, demikian lapor The Guardian. Lebih dari sepertiganya tewas dibunuh oleh pemburu. Thin Green Line Foundation, LSM yang mendukung jagawana taman nasional di seluruh dunia menunjukkan bahwa sebagian besar kematian jagawana terjadi di Afrika Timur dan Asia.
Karena sangat berbahaya dan honornya rendah, menurut survey WWF, lebih dari setengah jagawana tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak mereka dalam berkarir.