Akibat Perang, Puluhan Hewan di Kebun Binatang Yaman Menderita Kelaparan

By , Sabtu, 24 Desember 2016 | 19:30 WIB

Perang selalu melahirkan pengungsi. Penduduk sipil berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka untuk menghindari ancaman maut, menuju ke suatu tempat yang dianggap lebih aman.

Tetapi ada korban perang lain yang tak bisa mengungsi dan menyelamatkan diri, misalnya para penghuni kebun binatang yang ditinggalkan saat perang.

Hewan-hewan di Zoological Gardens di Taiz, Yaman, diabaikan di tengah perang antara pemerintah dan kelompok pemberontak Hutsi yang sedang bergejolak di negeri itu. Ada 28 macam tutul arab, yang terancam punah di alam liar, belum makan selama enam hari. Mereka, dan sekitar 240 hewan lainnya, menghadapi ancaman kematian jika tak segera diberi makan.

Semua berawal ketika pemerintah Yaman, penanggung jawab kebun binatang, kehilangan kendali kota dan berhenti membayar honor para staf dan mengabaikan fasilitas yang rusak akibat kekerasan perang.  Banyak petugas kebun binatang yang mengungsi untuk menghindari bom dan kekurangan pangan yang melanda daerah tersebut.

Pada Februari, setelah pemberitaan media yang menarik perhatian internasional, SOS Zoo and Bear Rescue, organisasi penyelamat yang didirikan di Facebook oleh Chantal Jonkergouw, mulai menggalang dana untuk menutup biaya makan, minum, dan perawatan hewan-hewan.

Menurut Jonkergouw, SOS berhasil mendapatkan uang sebesar 125.000 dolar dari para donatur perorangan selama 10 bulan terakhir.

Pada 30 November, ia memutuskan untuk berhenti memberi makan hewan-hewan tersebut hingga pemerintah setuju untuk melepaskan mereka pada para penyelamat. Meski tak lagi diberi makan, ia memastikan hewan-hewan tersebut tetap mendapatkan air bersih setiap hari.

Menurut Jonkergouw, sebelum SOS turun tangan, sudah ada 11 singa dan enam macan tutul arab yang mati akibat kelaparan. “Seekor macan tutul jantan bahkan telah memakan pasangannya,” katanya.

Hewan-hewan yang bertahan ditemukan dalam kondisi memprihatinkan, dengan tubuh kurus kering, berdarah-darah, dan dipenuhi abses. Mereka tinggal di dalam kandang kotor yang penuh feses. Salah satu singa yang kelaparan bahkan ditemukan dengan tulang pinggul yang mencuat keluar dari kulitnya.

Hewan-hewan lain yang berada di kebun binatang tersebut juga telah menunjukan tanda-tanda zoochosis parah. Zoochosis merupakan kondisi yang sering menimpa hewan di penangkaran dengan lingkungan buatan, yang ditandai dengan perilaku obsesif berulang.

Kedekatan lokasi kebun binatang dengan medan perang menyulitkan penyelamatan. Selain kelompok lokal yang didanai SOS untuk menyediakan makanan, air dan perawatan untuk hewan, tak ada organisasi lain yang terlibat dalam penyelamatan hewan di sana, karena terlalu berbahaya.

Pemerintah Yaman, yang kekuasaannya di Taiz mulai terbatas, menolak untuk mengeluarkan izin transfer yang mungkin bisa memberikan kesempatan bagi para hewan untuk dievakuasi dari wilayah kekuasaan kelompok Hutsi dan dibawa ke negara lain agar bisa bertahan hidup.

SOS terus memperjuangkan agar hewan-hewan itu tetap hidup dengan menggelontorkan dana sebesar 4.000 dolar AS perminggu. Kini, dana SOS hanya tersisa 10.000 dolar.

“Tanpa upaya kooperatif dari pemerintah Yaman untuk menemukan solusi nyata, saya pikir tidak ada gunanya bagi SOS menyediakan dana dan perhatian,” kata Jonkergouw.

Mengevakuasi sejumlah besar hewan di kebun binatang dari zona perang bukan perkara mudah, dan dapat menyebabkan pemerintah Yaman mengalami tantangan logistik berbahaya. Tetapi, sebenarnya sudah ada alternatif untuk mengatasinya.

Princess Alia Foundation di Yordania dan Breeding Centre for Endangered Arabian Wildlife di Uni Emirat Arab, mengatakan mereka siap mengevakuasi hewan-hewan itu. Proses evakuasi bisa menghabiskan dana hingga 500.000 dolar AS, karena membutuhkan petugas keamanan bersenjata untuk memastikan keselamatan evakuasi.

Jonkergouw yakin bahwa organisasinya dan beberapa organisasi lain dapat menggalang dana untuk evakuasi, tetapi ia menekankan bahwa pemerintah Yaman harus menyetujui untuk memfasilitasi evakuasi terlebih dahulu.

Singa-singa di kebun binatang Taiz, Yaman, banyak yang menderita abses di bagian tubuhnya. Fasilitas penyelamat hewan di Uni Emirat Arab dan Yordania telah menawarkan untuk menyelamatkan hewan-hewan kebun binatang itu, tapi pemerintah Yaman menolak untuk mengizinkan evakuasi mereka. (Mercury Press, Caters News via National Geographic)

Petugas pemerintah Yaman pernah berkata pada Jonkergouw bahwa mereka tidak akan menerima tawaran itu. “Mereka bilang tidak akan pernah membiarkan hewan-hewan itu keluar dari Yaman dan bahwa saat ini hewan-hewan itu dirawat dengan baik dan dalam kondisi baik-baik saja. Saya tentu langsung marah,” kata Jonkergouw.

“Saya berkata, ‘mengapa  hewan-hewan itu baik-baik saja? Itu karena saya menggalang dana hingga mencapai 125.000 dolar dan membayar hampir semua kebutuhan hewan-hewan itu tanpa mendapatkan kooperasi sedikitpun untuk mendapatkan solusi. Saya sudah muak dengan semua ini. Saya akan berhenti’,” katanya.

Seorang pejabat dari Environment Protection Authority Yaman, yang mewakili pemerintah dalam pembicaraan dengan Jonkergouw, tidak memberikan tanggapan ketika dimintai komentar.

Faktor macan tutul

Di planet ini, hanya tersisa sekitar 80 macan tutul arab di alam liar. Kebun binatang Taiz memiliki 28 ekor, termasuk dua anak macan tutul yang baru lahir pada September lalu. Jonkergouw meyakini, Yaman enggan mengirim kucing besar itu ke negara lain, bahkan untuk sementara, karena sebagai hewan nasional, macan tutul arab merupakan sumber kebanggaan yang mendalam.

Kehilangan macan tutul arab merupakan bencana, mengingat betapa langkanya spesies ini. Empat anak macan tutul hilang dari kebun binatang Taiz, tak lama setelah SOS turun tangan. Petugas kebun binatang saat itu mengatakan bahwa mereka kemungkinan dimakan oleh sesamanya. Jonkergouw meningkatkan posibilitas bahwa kemungkinan mereka dicuri dan dijual ke pasar gelap. Pasca kejadian itu, ia menempatkan petugas keamanan bersenjata untuk menjaga para macan tutul .

Saat ini, status kebanggaan macan tutul di Yaman, mungkin bisa menjadi kunci untuk pembebasan dan penyelamatan mereka. Jika para macan tutul mulai sekarat karena kelaparan, Jonkergouw berharap pemerintah mungkin akan mengalah dan mengizinkan transfer macan tutul dan seluruh hewan lainnya. “Mungkin harus ada lebih banyak macan tutul yang mati dulu, baru mereka menyadari bahwa seharusnya hewan-hewan itu dievakuasi,” katanya.

Jonkergouw berniat untuk memberi makan binatang kembali segera setelah surat izin penyelamatan oleh fasilitas di Yordania atau UEA, atau menguraikan rencana alternatif.

Ia mengaku lebih baik melihat hewan-hewan itu dieutanasia ketimbang mereka harus menghadapi kematian karena kelaparan. “Tetapi saya pikir kebun binatang tidak akan setuju dengan eutanasia,” katanya.

Jonkergouw mengatakan, dirinya sering mendapat pertanyaan, bagaimana bisa ia membenarkan tindakan penyelamatan hewan di zona perang, sementara banyak manusia yang sekarat dan menderita.

“Manusialah yang menempatkan hewan-hewan itu di sini. Mereka adalah tanggungjawab kita,” katanya.

“Ada begitu banyak penderitaan manusia di dunia, dan akan terus bertambah di masa depan. Jika Anda memandangnya dari sudut pandang itu, maka Anda tidak akan pernah sampai pada pemikiran tentang kesejahteraan hewan. Hal itu akan terus menerus jadi alasan untuk tidak bertindak. Ini adalah tanggung jawab kita,” pungkasnya.