Kisah Nahas Sabo dan Bitio, Korban Rasisme 'Sirkus Manusia' di Belgia

By Galih Pranata, Minggu, 16 Januari 2022 | 13:00 WIB
Pria Kongo berpose di depan lukisan latar untuk pameran dunia di Antwerpen pada tahun 1894. (Collection MAS)

Banyak dari mereka yang dibawa untuk dipamerkan oleh penjajah, atau lebih kejam, akan mati dalam perjalanan, mungkin juga setibanya dari siksaan perjalanan panjang hingga terkena penyakit Eropa baru.

Tujuan dari kebun binatang manusia adalah untuk memungkinkan Leopold dan pembantunya, yang telah menjalankan dan menjarah Kongo sebagai wilayah kekuasaan pribadi raja sejak 1884 atau hegemonisasi Leopold II.

Orang-orang Kongo, beberapa di antaranya telah diambil dari Force Publique, tentara kolonial, tentara kulit hitam yang dipimpin oleh perwira kulit putih Eropa, akan mendayung di kanal, memainkan instrumen, mendemonstrasikan metalurgi dan memamerkan tubuh mereka. 

Pemandangan desa tiruan Kongo dengan kolam, Antwerpen, 1894. (Hendrik Conscience Heritage Library Antwerpen)

Namun saat meneliti di arsip kota, De Palmenaer menemukan arsip pribadi Alexis Mols, ajudan dekat dan orang kepercayaan Leopold yang bertanggung jawab atas pembukuan untuk pameran tahun 1894.

Baca Juga: Perdagangan Budak Belanda di Transatlantik, Dari Afrika hingga Amerika

Terungkap bahwa total 144 orang Kongo, disertai dengan beberapa hewan, telah dikirim melalui jalur Matadi-Antwerp ke Belgia. Bitio, yang digambarkan berasal dari klan Mobati, meninggal pada hari pertama karena disentri, disimpan Mols sehingga dia bisa mencatat biaya perawatan kesehatan bagi yang terserang.

Pada musim panas 1897, Leopold II akan kembali mengimpor 267 orang Kongo ke Brussel untuk dipamerkan di sekitar istananya di Tervuren, timur Brussel, mendayung kano mereka di danau kerajaan.

Tujuh dari pendatang Kongo meninggal karena radang paru-paru dan flu, tubuh mereka dibuang di kuburan massal tak bertanda di pemakaman lokal. Sampai saat ini, Kota Antwerpen masih mencari cara untuk memperingati jejak kehidupan mereka.