Kisah Nahas Sabo dan Bitio, Korban Rasisme 'Sirkus Manusia' di Belgia

By Galih Pranata, Minggu, 16 Januari 2022 | 13:00 WIB
Pria Kongo berpose di depan lukisan latar untuk pameran dunia di Antwerpen pada tahun 1894. (Collection MAS)

Nationalgeographic.co.id—Dua nama yang paling menonjol dari daftar pemakaman di Antwerpen: Sabo dan Bitio, 24 dan 20 tahun, Digambarkan sebagai 'Orang Kongo' dan dimakamkan di baris 13, plot K pemakaman Kiel di Antwerpen.

Dokumen yang baru ditemukan dari hasil pencarian, dipamerkan untuk pertama kalinya akhir pekan ini melalui sebuah pameran di Museum aan de Stroom Antwerpen.

Kisah mereka memicu perdebatan baru tentang bagaimana Belgia menjadi bangsa yang perlu bertanggung jawab atas sejarah kelamnya, melakukan rasisme kepada orang-orang Kongo di Antwerpen.

"Sabo dan Bitio adalah dua nama dari delapan orang yang meninggal segera setelah tiba di Belgia pada tanggal 12 Mei 1894, setelah diangkut dari Kongo bersama 136 orang lainnya," tulis Daneil Boffey.

Boffey menulis kepada The Guardian, dalam artikelnya berjudul "New Find Reveals Grim Truth of Colonial Belgium’s ‘Human Zoos’", yang dipublikasikan pada 4 Oktober 2020.

Sabo dan Bitio, bersama dengan orang Kongo lainnya yang dibawa, turut dalam koloni yang dibangun secara khusus pada pameran dunia tahun 1894 di Antwerpen.

Kejahatan rasisme itu diakui hari ini sebagai human zoos atau kebun binatang manusia pertama Belgia, sebuah kejahatan yang terjadi di Afrika di mana Leopold II, Raja Belgia, memulai genosida. Sebanyak 10 juta orang tewas selama pemerintahannya atas Negara Kongo.

Baca Juga: Kematian George Floyd dan Sejarah Panjang Rasisme di Minneapolis

"Pilunya kehidupan, kedua pria itu diperlakukan dengan penghinaan setelah kematian mereka," imbuhnya. Setelah mereka meninggal, makam mereka digali kembali, kemudian dibuang di sebuah kuburan massal tak bertanda bersama warga negara Kongo lainnya.

Kisah-kisah mereka tidak pernah diceritakan, atau dibuat sebuah peringatan apa pun yang ditawarkan di Belgia, di mana perdebatan tentang catatan kolonialnya baru ditemukan.

Catatan tentang Sabo dan Bitio mulai menyeruak bersamaan dengan penerbitan buku karya Adam Hochschild, King Leopold's Ghost pada tahun 1998, merinci kekejaman rezim Leopold yang tak terbayangkan.

Antara tahun 1885 hingga tahun 1958—dua tahun sebelum Kongo mendeklarasikan kemerdekaan dari Belgia—pria, wanita, dan anak-anak dikirim dari Kongo untuk dipamerkan di kota-kota besar Belgia.

Banyak dari mereka yang dibawa untuk dipamerkan oleh penjajah, atau lebih kejam, akan mati dalam perjalanan, mungkin juga setibanya dari siksaan perjalanan panjang hingga terkena penyakit Eropa baru.

Tujuan dari kebun binatang manusia adalah untuk memungkinkan Leopold dan pembantunya, yang telah menjalankan dan menjarah Kongo sebagai wilayah kekuasaan pribadi raja sejak 1884 atau hegemonisasi Leopold II.

Orang-orang Kongo, beberapa di antaranya telah diambil dari Force Publique, tentara kolonial, tentara kulit hitam yang dipimpin oleh perwira kulit putih Eropa, akan mendayung di kanal, memainkan instrumen, mendemonstrasikan metalurgi dan memamerkan tubuh mereka. 

Pemandangan desa tiruan Kongo dengan kolam, Antwerpen, 1894. (Hendrik Conscience Heritage Library Antwerpen)

Namun saat meneliti di arsip kota, De Palmenaer menemukan arsip pribadi Alexis Mols, ajudan dekat dan orang kepercayaan Leopold yang bertanggung jawab atas pembukuan untuk pameran tahun 1894.

Baca Juga: Perdagangan Budak Belanda di Transatlantik, Dari Afrika hingga Amerika

Terungkap bahwa total 144 orang Kongo, disertai dengan beberapa hewan, telah dikirim melalui jalur Matadi-Antwerp ke Belgia. Bitio, yang digambarkan berasal dari klan Mobati, meninggal pada hari pertama karena disentri, disimpan Mols sehingga dia bisa mencatat biaya perawatan kesehatan bagi yang terserang.

Pada musim panas 1897, Leopold II akan kembali mengimpor 267 orang Kongo ke Brussel untuk dipamerkan di sekitar istananya di Tervuren, timur Brussel, mendayung kano mereka di danau kerajaan.

Tujuh dari pendatang Kongo meninggal karena radang paru-paru dan flu, tubuh mereka dibuang di kuburan massal tak bertanda di pemakaman lokal. Sampai saat ini, Kota Antwerpen masih mencari cara untuk memperingati jejak kehidupan mereka.