Ziarah Riwayat Foramadiahi dan Kastela

By , Kamis, 9 Februari 2017 | 11:30 WIB

“Semangat!.. masih 200 meter lagi sampai di ujung Kampong Foramadiahi”

Teriakan dari pemandu mencoba memberi semangat para peserta yang sudah berjalan kaki menanjak yang cukup membuat lelah. Kelelahan pun terbayar ketika peserta memasuki perkebunan cengkih di ujung kampong tersebut, serentak memberi suasana yang berbeda, sejuk, segar udaranya dan teduh.

Sekumpulan anak muda ini sedang mengikuti kegiatan "Jelajah Foramadiahi & Kastela", sebuah kegiatan Ternate Heritage Society yang diselenggarakan untuk memperkenalkan Pusaka Ternate kepada generasi muda.

“Jelajah Pusaka kali ini berlokasi di Foramadiahi dan Kastela sesuai momen hari jadi Kota Ternate, beginilah cara kami memperingatinya, dengan belajar sejarah dan budaya langsung di lokasinya, lokasi asal-muasal Kota Ternate,” ujar saya kepada para peserta.

Kegiatan yang berlangsung pada awal Desember silam ini dimulai dari halaman bekas Kantor Gubernur Maluku Utara. Peserta yang berjumlah 25 orang dan 14 orang relawan pelestari Pusaka Ternate berangkat bersama penyelenggara menggunakan Bus dan kendaraan lainya.

Peserta mendapat penjelasan tentang sejarah Foramadiahi yang berasal dari ungkapan “Fo waro madiahi”, tempat bermufakat untuk memilih pemimpin pertama Kerajaan Ternate.

Sesampainya di Foramadiahi, peserta mulai jalan kaki menyusuri jalan setapak sampai ke Makam Sultan Baabullah, kurang lebih satu kilometer dari ujung kampong tersebut. Perjalanan di dalam perkebunan cengkih ini, di pos pemberhentian pertama, peserta mendapat penjelasan tentang sejarah Foramadiahi yang berasal dari ungkapan “Fo waro madiahi”, tempat bermufakat untuk memilih pemimpin pertama Kerajaan Ternate. Kemudian lahirlah titah “Tara No Ate” yang berarti “ke bawah dan pikatlah”, bermakna perpindahan ibukota dari atas gunung ke pesisir pantai yang dikenal dengan nama Sampalo.

Dalam Jelajah Foramadiahi dan Kastela ini terdapat lima pos pemberhentian, tiga di perkebunan cengkih Foramadiahi termasuk di makam sultan Baabullah, dan dua pos di Kastela—yaitu di Benteng dan pantai Kastela. Di setiap pos peserta akan beristirahat sejenak sambil mendengarkan penjelasan sejarah dan budaya, disertai tanya-jawab.

Rimbunnya pepohonan cengkih yang sesekali diselingi pala dan durian, memukau sekumpulan anak muda ini, membuat mereka semakin sadar asal muasal kerajaan Ternate berhubungan dengan dunia luar, karena memikatnya komoditi cengkih. Di pos pemberhentian ke-2, dalam rimbunan perkebunan cengkih, Bapak Hasbullah, dosen dan peneliti teknologi hasil pertanian dari Universitas Khairun memberi penjelasan tentang cengkih dan pala, sejak periode awal yang menyihir bangsa Eropa untuk datang menemukan sumbernya, hingga periode sekarang, pengolahan dan pemanfaatannya.

Babullah Datu Syah dilantik pada 28 Februari 1570, menggantikan ayahnya Sultan Khairun yang wafat dibunuh di Fort São João Baptista di Kastela (kawasan monumen ini). Kemudian, Sultan Baabullah melakukan perlawanan lima tahun dan berhasil mengusir Portugis dari Ternate pada 29 Desember 1575. Tangal inilah yang diperingati sebagai tangal hari jadi Kota Ternate, (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Puncak perjalanan di Foramadiahi dinikmati dengan berziarah ke Makam Sultan Baabullah, penguasa Ternate ke-26 yang berkuasa 1570 hingga 1584. Dia berhasil mengusir Portugis pada 1575 dan membawa Ternate pada puncak kejayaannya sebagai kerajaan maritim terbesar di wilayah timur Nusantara. Pengaruh Ternate membentang kekuasannya dari Mindanao di utara hingga Bima di Selatan, dari pesisir timur Sulawesi hingga Ambon dan Halmahera. Oleh penulis Eropa, beliau dikenal sebagai “Penguasa 72 Pulau”. Dari Sultan Baabullah kita belajar tentang upaya tak kenal lelah dalam melawan penjajahan, kita tiru semangat para pejuang dalam konteks kekinian, yaitu melawan penjajahan dalam segala bentuk, termasuk melawan keterbelakangan karena Kemalasan dan kebodohan.

Perjalanan menuju makam Sultan Baabullah (pos 3) penuh bukit mendaki dan menurun, tidak mengurangi semangat para peserta, Karena sepanjang perjalanan mereka ditemani harumnya aroma cengkih, sejuk dan alaminya udara gunung Gamalama, serta sesekali berpapasan dengan warga lokal petani cengkih yang menyambut dengan senyuman ramah.

“Seru..bahagia,..lelahnya terbayarkan begitu sampai di lokasi (makam Sultan Baabullah), Terimakasih sudah dapat ikut dalam kegiatan ini, dapat ilmu baru, dapat teman-teman baru, ditunggu trip berikutnya” ungkap Suryani, salah satu peserta.

Dia berhasil mengusir Portugis pada 1575 dan membawa Ternate pada puncak kejayaannya sebagai kerajaan maritim terbesar di wilayah timur Nusantara.

Jelajah kemudian dilanjutkan menuju benteng Kastela sebagai pos pemberhentian ke-4. Di dalam benteng Kastela peserta Jelajah mendapat penjelasan tentang Sejarah Kota Ternate dan berkembangnya kawasan Kastela.

Benteng yang dibangun sejak 1522 ini awalnya diberi nama Sao Joau Baptista oleh Portugis, karena peletakan batu pertamanya pada tanggal pembaptisan Saint John. Pada periode awal hingga periode Gubernur Antonio Galvao, hubungan terjalin baik dengan Kesultanan Ternate sebagai mitra dagang. Hubungan baik ini mulai rusak dan berakhir ketika Sultan Khairun dikhianati dengan pembunuhan yang kejam atas perintah Gubernur Diego Lopez de Mesquita pada 1570. Hal inilah yang memicu Sultan Baabullah melakukan perlawanan hingga 5 tahun dan berhasil mengusir Portugis dari Ternate pada 29 Desember 1575. Tangal inilah yang diperingati sebagai tangal hari jadi Kota Ternate, sementara tahunnya diambil tahun 1250, tahun terbentuknya Kerajaan Ternate. Ketika berhasil mengusir Portugis, benteng ini kemudian dikuasai Sultan Baabullah dan dikenal dengan nama Gamlamo, dan kemudian berubah menjadi Ciudad del Rosario di periode Spanyol (1606-1667) ketika berhasil menguasai Gamlamo.

Di benteng Kastela peserta jelajah juga memperoleh penjelasan dari pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara, perihal benteng Kastela sebagai Cagar Budaya dan upaya polestariannya.

“Kami sudah melakukan studi teknis, dan berupaya melakukan perlindungan dan menjaga keaslian tanpa merubah. Bagi masyarakat, dengan cara sederhana, pengunjung tidak naik ke reruntuhan batu benteng, tidak merusak atau corat-coret, adalah tindakan yang dapat dilakukan masyarakat untuk ikut melestarikan benteng Kastela sebagai Cagar Budaya,” demikian penjelasan Ujon Sujana, staf BPCB Malut. Dia sangat berharap masyarakat ikut andil dalam upaya pelestarian Cagar Budaya yang ada di Indonesia.

Kerabat Kesultanan Ternate, yang berbusana adat, tengah menanti keberangkatan perahu di Pelabuhan Dodoku Mari, yang artinya "Pelabuhan Batu". Tampak latar Gunung Gamalama yang berselendang awan. Gunung ini kerap disebut-sebut dalam catatan para penjelajah samudra asal Eropa pada abad ke-16 dan ke-17. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kegiatan pun berakhir dengan makan siang bersama di pantai Kastela sebagai pos pemberhentaian terakhir. Sesudah acara makan bersama, peserta diingatkan kembali perihal asal-muasal Ternate, dan mengharapkan agar kegiatan seperti ini dimaknai sebagai upaya mengenal sejarah dan budaya Ternate agar muncul rasa cinta dan mau bersama-sama menjaga kelestarian Pusaka Ternate.

Inilah salah satu cara Ternate Heritage Society memperingati hari jadi kota Ternate yang jatuh pada 29 Desember. Kami menziarahi makam Sultan Baabullah (yang berhasil membuat orang-orang Portugal angkat kaki dari Ternate pada 29 Desember 1575), belajar sejarah asal-muasal Ternate hingga priode benteng Kastela. Semoga peserta,  yang sebagian besar adalah anak muda Ternate, semakin mengenal negerinya sendiri dan akan terus bekerja untuk kemuliaan bangsanya.

Mari mencintai alam, sejarah dan budaya untuk masa depan yang lebih baik.