Dera Sengsara Stasiun Renta

By , Senin, 20 Februari 2017 | 16:00 WIB
Perbandingan arsitektur Stasiun Tuntang (atas) dan Stasiun Bringin (bawah). Keduanya terletak di perlintasan jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa yang sudah pupus. (Lengkong Sanggar Ginaris)

Stasiun Bringin memiliki dua beranda, yakni beranda depan yang menjadi tempat para penumpang membeli tiket dan beranda belakang yang menjadi ruang peron atau tempat penumpang menunggu kereta.

Di bagian peron, kita dapat melihat barisan tiang kayu penyangga atap stasiun yang masih terlihat antik. Meski kondisi bangunan stasiun sudah rusak parah, namun untungnya kita masih bisa menjumpai lantai tegel kotak-kotak khas stasiun. Selain itu, di bagian peron ini terdapat salah satu artefak dari jejak sejarah kereta api, yakni alat pengatur sinyal “Alkmaar” yang masih in situ. Peron Stasiun Bringin dapat dibilang cukup besar untuk ukuran sebuah stasiun yang berada di lokasi yang terpencil.

Ah, sejenak saya terbayang andai bisa kembali ke masa ketika Stasiun Bringin masih menunaikan darmanya. Mungkin saya akan menyaksikan ketika peron stasiun sangat ramai penumpang yang sebagian besar adalah pedagang Pasar Bringin. Apalagi di musim mudik lebaran, stasiun ini tentu akan ramai dengan kedatangan para perantau untuk bersilahturami dengan keluarga mereka yang tinggal di desa.

Ah, sejenak saya terbayang andai bisa kembali ke masa ketika Stasiun Bringin masih menunaikan darmanya. Mungkin saya akan menyaksikan ketika peron stasiun sangat ramai penumpang yang sebagian besar adalah pedagang Pasar Bringin.

Di sebelah selatan stasiun Bringin terdapat emplasemen kereta yang cukup luas. Sebelum area di sektiar stasiun diratakan pada 2014, kita masih bisa menemukan sisa-sisa rel jalur Kedungjati-Ambarawa. Namun setelah diratakan, rel-rel tua tadi kemudian diangkut entah ke mana. Rencananya, rel itu akan diganti dengan rel baru sebagai bagian dari program PT KAI untuk menghidupkan kembali jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa. Pun, hingga kini saya masih bertanya-tanya, mengapa rencana tadi tiba-tiba mandeg. Bantalan rel yang sudah dipersiapkanpun kini menumpuk dan menganggur.

Di sebelah barat emplasemen, kita dapat melihat pipa air berfungsi untuk mengalirkan air ke dalam lokomotif bermesin uap yang membutuhkan air untuk menghasilkan uap. Air ini berasal dari menara air di sebelah barat yang airnya diambil dari sumur di bawahnya.

Tidak jauh dari menara air, terdapat sebuah bangunan kecil yang dahulu digunakan sebagai gudang stasiun. Gudang ini dahulu menjadit tempat penyimpanan hasil-hasil perkebunan seperti kopi dan karet yang berasal dari perkebunan sekitar Bringin. Kondisi gudang ini tidak jauh berbeda dengan bangunan stasiun Bringin. Pintu dan lubang ventilasi gudang sudah ditutup tembok baru untuk sarang walet dan sriti dan terdapat lubang-lubang kecil untuk tempat masuk burung sriti dan walet.

Menara air yang dibangun dengan batu kapur di Stasiun Bringin. Inilah penyintas dan tengara yang sepatutnya kita ruwat dan rawat sebagai salah satu tinggalan cagar budaya perkeretaapian Indonesia. (Lengkong Sanggar Ginaris)

Stasiun Bringin dilengkapi dengan rumah dinas yang berada di sebelah timur stasiun. Rumah dinas ini memiliki gaya arsitektur chalet yang ditandai dengan keberadaan lisplang kayu bergerigi pada bagian atap pelana depan. Kondisi rumah ini juga sama sengsaranya dengan bangunan Stasiun Bringin. Rumah ini aslinya memiliki sebuah beranda depan, namun beranda depan ini ditutup untuk sarang walet. Namun untunglah jendela krepyak dari rumah ini masih berada di tempatnya. Menariknya, bentuk rumah dinas ini mirip dengan rumah dinas Stasiun Tuntang. Arah hadapnyapun juga sama, yakni menghadap ke barat.

EpilogStasiun Bringin saat ini kondisinya masih terlantar meski sudah ada rencana untuk menghidupkan jalur kereta Kedungjati-Ambarawa. Kondisi sengsara Stasiun Bringin pada masa sekarang tidak terlepas dari dosa generasi sebelum kita, yang tidak memiliki kesadaran untuk melestarikan peninggalan sejarah. Kini, untuk memugar bangunan Stasiun Bringin, kita membutuhkan biaya cukup besar. Sekalipun stasiun ini sudah berhasil pugar, nilai otentik arsitekturnya sudah berkurang.

Saya pikir ungkapan ini ada benarnya, “Kehilangan sebuah warisan sejarah bukan generasi sekarang yang merasakan dampaknya tapi generasi selanjuntnya yang akan merasakan dampaknya.”

Stasiun Bringin mengingatkan saya pada pohon rindang dan kokoh yang akar-akarnya mencengkeram bumi. Namun, nama stasiun ini tampak tak sekokoh perawakannya hari ini. Semoga saja di masa depan, nasib Stasiun Bringin tidak sengsara lagi.