Dera Sengsara Stasiun Renta

By , Senin, 20 Februari 2017 | 16:00 WIB

Ketika memasuki ruangan dalam Stasiun Bringin, saya menyaksikan kondisi ruangan yang sangat kotor, gelap, dan pengap. Saya pun mencium aroma tidak sedap dari kotoran hewan. Saat masih berjaya, stasiun ini masih memiliki jendela dan pintu tinggi yang membuat udara dan cahaya matahari menjangkau ke dalam ruangan. Kini, bagian pintu dan jendelanya sengaja ditutup oleh warga untuk usaha sarang burung walet.

Nama Stasiun Bringin mungkin tidak setenar Stasiun Tawang, Stasiun Ambarawa, atau Stasiun Tugu. Maklumlah, bangunan stasiun ini sudah lama tidak beroperasi. Lokasinya pun berada di daerah terpencil.

Saya akan menuturkan kisah perjalanan saya ke sebuah stasiun peninggalan Hindia Belanda yang terlupakan. Stasiun ini berada di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Cara menuju ke stasiun ini sebenarnya cukup mudah. Dari Jalan Semarang-Salatiga, ambillah jalan ke arah Tuntang kemudian telusuri ke arah Kedungjati. Di sepanjang jalan, kita akan disuguhkan dengan pemandangan kebun kopi. Jika sudah sampai di Bringin, carilah Pasar Bringin. Nah, posisi Stasiun Bringin berada persis di seberang pasar ini.

Sepenggal sejarahTidak lama setelah Perang Jawa usai, Belanda berhasil memantapkan kekuasaanya lewat kebijakan Cultuurstelsel—yang kerap diterjemahkan sebagai kebijakan tanam paksa. Mereka kemudian membuka lahan perkebunan untuk ditanam berbagai tanaman komoditas ekspor yang semula belum dikenal di sini seperti tebu, teh, tembakau, kopi, nila, karet, dan lain-lain.

Nah, guna memperlancar usaha perkebunan tadi, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan kereta api yang pertama kali dibangun dari Semarang ke Tanggung, Grobogan pada tahun 1867. Selanjutnya, pembangunan jalan itu diteruskan sampai Kedungjati. Dari Kedungjati, pembangunan jalan kereta api diteruskan lagi sampai wilayah Vorstenlanden—sebutan wilayah yang saat ini mencakup Yogyakarta dan Surakarta.

Alasan pendirian stasiun ini mungkin lantaran keberadaan perkebunan kopi yang berada di daerah Bringin. milik “Landbouw Maatschappij Getas”.

Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan swasta yang mengoperasikan jalur kereta api, rupanya tertarik untuk membuka jalur di wilayah Ambarawa dan Kedu. Mungkin pertimbangannya di wilayah ini terdapat banyak perkebunan kopi, sehingga menjanjikan keuntungan dari usaha pengangkutan hasil perkebunan. NIS membuka jalur kereta Kedungjati-Ambarawa pada 1870. Beberapa stasiun dibangun di antara ruas Kedungjati-Ambarawa seperti Tempuran, Gogodalem, Bringin, dan Tuntang.

Salah satu stasiun yang berada di jalur tadi adalah Stasiun Bringin. Alasan pendirian stasiun ini mungkin lantaran keberadaan perkebunan kopi yang berada di daerah Bringin. milik “Landbouw Maatschappij Getas”. Selepas berakhirnya Cultuurstelsel, Hindia Belanda kebanjiran arus modal swasta di bidang perkebunan.

Stasiun Bringin kemungkinan mulai beroperasi sejak  21 Mei 1873 bersamaan dengan dibukanya jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa. Sebelum stasiun ini dibangun, wilayah Bringin dapat dikatakan sebuah wilayah yang terpencil karena lokasinya cukup jauh dari jalan utama antarkota. Stasiun ini telah turut mengembangkan wilayah Bringin dan sekitarnya. Stasiun ini juga menambah ramai pasar yang ada di dekatnya. Semakin banyak barang dagangan yang dapat diangkut dan diturunkan di stasiun ini.

Ketika memasuki 1970-an, moda transportasi kereta perlahan mulai dikalahkan oleh transportasi darat lain, seperti bus dan truk yang lebih praktis. Celakanya, jalur kereta Kedungjati-Ambarawa resmi dinonaktifkan pada 1976.

Peranti sinyal mekanik bertengara "Alkmaar" di Stasiun Bringin, yang riwayatnya tamat seiring penutupan jalur Kedungjati-Ambarawa pada akhir 1970-an. (Lengkong Sanggar Ginaris)

Teroka Stasiun TuaJika kita melihat bangunan stasiun untuk pertama kali, mungkin kita akan merasa bahwa stasiun ini lebih cocok untuk dijadikan latar film horror. Ya, sejak stasiun ini tidak berfungsi lagi, bangunan stasiun diubah menjadi sarang walet. Saya tidak memahami, mengapa bangunan stasiun sengaja diubah menjadi sarang walet dan siapa yang bertanggung jawab atas hal ini.

Kayu kusen daun pintu dan jendela sudah hilang entah kemana. Bagian jendela, pintu, dan loket ditutup dengan tembok baru, yang seolah memerkosa kecantikan stasiun ini. Stasiun ini benar-benar dibiarkan telantar, tanpa ada yang peduli merawat peninggalan sejarah kereta kita.

Jika kita melihat bangunan stasiun untuk pertama kali, mungkin kita akan merasa bahwa stasiun ini lebih cocok untuk dijadikan latar film horror. Ya, sejak stasiun ini tidak berfungsi lagi, bangunan stasiun diubah menjadi sarang walet.

Apa mau dikata, sejatinya keadaan hari ini lebih mujur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebelum jalur Kedungjati-Ambarawa mulai dibuka pada 2014 akhir, lahan di sekitar stasiun menjadi permukiman padat sehingga bangunan stasiun terutup oleh bangunan baru.

Dari segi arsitektur, denah dan tampak muka bangunan Stasiun Bringin hampir mirip dengan Stasiun Tuntang, yang juga berada di jalur Kedungjati-Ambarawa. Hanya  terdapat beberapa perbedaan pada detail bangunan, misalnya atap Stasiun Tuntang berbentuk pelana, sementara atap Stasiun Bringin berbentuk perisai. Bangunan Stasiun Bringin yang kita lihat saat ini merupakan hasil pemugaran oleh NIS pada awal abad ke-20. Pemugaran ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kenyamanan penumpang. Meski kondisi bangunan sudah rusak, kita justru bisa menyaksikan dan memeriksa konstruksi-konstruksi bangunan stasiun yang sebelumnya tidak terlihat. Dari tembok yang roboh, saya dapat mengetahui bahwa bangunan ini dibuat dengan batu-bata yang disusun dengan pola irregular bond. Pada pola ini, satu lapis dinding dibuat dengan dua lapis batu bata, sehingga dinding terlihat kuat dan tebal. Meski pada masa itu teknologi beton bertulang belum ditemukan, bangunan stasiun ini mampu berdiri dalam jangka waktu lama. Konstruksi seperti ini sebenarnya sering saya jumpai pada bangunan-bangunan masa kolonial.

Perbandingan arsitektur Stasiun Tuntang (atas) dan Stasiun Bringin (bawah). Keduanya terletak di perlintasan jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa yang sudah pupus. (Lengkong Sanggar Ginaris)

Stasiun Bringin memiliki dua beranda, yakni beranda depan yang menjadi tempat para penumpang membeli tiket dan beranda belakang yang menjadi ruang peron atau tempat penumpang menunggu kereta.

Di bagian peron, kita dapat melihat barisan tiang kayu penyangga atap stasiun yang masih terlihat antik. Meski kondisi bangunan stasiun sudah rusak parah, namun untungnya kita masih bisa menjumpai lantai tegel kotak-kotak khas stasiun. Selain itu, di bagian peron ini terdapat salah satu artefak dari jejak sejarah kereta api, yakni alat pengatur sinyal “Alkmaar” yang masih in situ. Peron Stasiun Bringin dapat dibilang cukup besar untuk ukuran sebuah stasiun yang berada di lokasi yang terpencil.

Ah, sejenak saya terbayang andai bisa kembali ke masa ketika Stasiun Bringin masih menunaikan darmanya. Mungkin saya akan menyaksikan ketika peron stasiun sangat ramai penumpang yang sebagian besar adalah pedagang Pasar Bringin. Apalagi di musim mudik lebaran, stasiun ini tentu akan ramai dengan kedatangan para perantau untuk bersilahturami dengan keluarga mereka yang tinggal di desa.

Ah, sejenak saya terbayang andai bisa kembali ke masa ketika Stasiun Bringin masih menunaikan darmanya. Mungkin saya akan menyaksikan ketika peron stasiun sangat ramai penumpang yang sebagian besar adalah pedagang Pasar Bringin.

Di sebelah selatan stasiun Bringin terdapat emplasemen kereta yang cukup luas. Sebelum area di sektiar stasiun diratakan pada 2014, kita masih bisa menemukan sisa-sisa rel jalur Kedungjati-Ambarawa. Namun setelah diratakan, rel-rel tua tadi kemudian diangkut entah ke mana. Rencananya, rel itu akan diganti dengan rel baru sebagai bagian dari program PT KAI untuk menghidupkan kembali jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa. Pun, hingga kini saya masih bertanya-tanya, mengapa rencana tadi tiba-tiba mandeg. Bantalan rel yang sudah dipersiapkanpun kini menumpuk dan menganggur.

Di sebelah barat emplasemen, kita dapat melihat pipa air berfungsi untuk mengalirkan air ke dalam lokomotif bermesin uap yang membutuhkan air untuk menghasilkan uap. Air ini berasal dari menara air di sebelah barat yang airnya diambil dari sumur di bawahnya.

Tidak jauh dari menara air, terdapat sebuah bangunan kecil yang dahulu digunakan sebagai gudang stasiun. Gudang ini dahulu menjadit tempat penyimpanan hasil-hasil perkebunan seperti kopi dan karet yang berasal dari perkebunan sekitar Bringin. Kondisi gudang ini tidak jauh berbeda dengan bangunan stasiun Bringin. Pintu dan lubang ventilasi gudang sudah ditutup tembok baru untuk sarang walet dan sriti dan terdapat lubang-lubang kecil untuk tempat masuk burung sriti dan walet.

Menara air yang dibangun dengan batu kapur di Stasiun Bringin. Inilah penyintas dan tengara yang sepatutnya kita ruwat dan rawat sebagai salah satu tinggalan cagar budaya perkeretaapian Indonesia. (Lengkong Sanggar Ginaris)

Stasiun Bringin dilengkapi dengan rumah dinas yang berada di sebelah timur stasiun. Rumah dinas ini memiliki gaya arsitektur chalet yang ditandai dengan keberadaan lisplang kayu bergerigi pada bagian atap pelana depan. Kondisi rumah ini juga sama sengsaranya dengan bangunan Stasiun Bringin. Rumah ini aslinya memiliki sebuah beranda depan, namun beranda depan ini ditutup untuk sarang walet. Namun untunglah jendela krepyak dari rumah ini masih berada di tempatnya. Menariknya, bentuk rumah dinas ini mirip dengan rumah dinas Stasiun Tuntang. Arah hadapnyapun juga sama, yakni menghadap ke barat.

EpilogStasiun Bringin saat ini kondisinya masih terlantar meski sudah ada rencana untuk menghidupkan jalur kereta Kedungjati-Ambarawa. Kondisi sengsara Stasiun Bringin pada masa sekarang tidak terlepas dari dosa generasi sebelum kita, yang tidak memiliki kesadaran untuk melestarikan peninggalan sejarah. Kini, untuk memugar bangunan Stasiun Bringin, kita membutuhkan biaya cukup besar. Sekalipun stasiun ini sudah berhasil pugar, nilai otentik arsitekturnya sudah berkurang.

Saya pikir ungkapan ini ada benarnya, “Kehilangan sebuah warisan sejarah bukan generasi sekarang yang merasakan dampaknya tapi generasi selanjuntnya yang akan merasakan dampaknya.”

Stasiun Bringin mengingatkan saya pada pohon rindang dan kokoh yang akar-akarnya mencengkeram bumi. Namun, nama stasiun ini tampak tak sekokoh perawakannya hari ini. Semoga saja di masa depan, nasib Stasiun Bringin tidak sengsara lagi.