Jejak orang Jawa di luar Indonesia tak hanya ada di Suriname. Di Bangkok, Thailand, orang Jawa juga meninggalkan jejak kebudayaan berupa masjid yang berarsitektur Jawa.
Masjid berarsitektur Jawa itu sudah berdiri sejak 108 tahun yang lalu. Masjid ini dibangun oleh H Muhammad Saleh, mertua dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Pembangunan masjid tersebut pada awalnya bertujuan untuk memfasilitasi tempat ibadah bagi para Muslim asal Jawa yang bekerja di Thailand.
Masjid Jawa atau Jawa Mosque terletak di Jalan Soi Charoen Rat 1 Yaek 9, Sathorn, Bangkok. Arsitektur Jawa langsung terasa begitu melihat atap masjid.
Masjid Jawa tak beratapkan kubah sebagaimana halnya kebanyakan masjid, melainkan beratapkan limas bersusun tiga seperti Masjid Demak yang menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan antara Islam dan Hindu di Jawa.
Distrik Sathorn memang menjadi salah satu tempat tinggal komunitas Muslim di Bangkok. Hampir 80 persen penduduk di Distrik Sathorn beragama Islam.
Jawa Mosque terletak di jantung kota Bangkok. Masjid tersebut tersembunyi di antara hostel-hostel murah tempat menginap para pelancong mancanegara dengan dana minim, atau biasa disebut backpacker.
Jalan menuju Jawa Mosque juga cukup sempit. Jalan tersebut hanya bisa dilalui satu mobil. Rasanya sangsi, di tengah-tengah hostel dan penginapan murah, terdapat sebuah masjid.
Dari BTS (kereta layang) Surasak Station, Sabtu (11/2/2017) itu, saya menyusuri gang-gang kecil untuk bisa sampai di Jawa Mosque. Tak sampai 10 menit, saya pun sampai di Jawa Mosque.
Tak ada sambutan apa pun dari masyarakat di sana. Tak ada pula hal yang mengesankan masjid itu sebagai destinasi wisata di Bangkok. Saat saya tiba di sana, jarum jam menunjukkan pukul 10.30 waktu setempat.
Masjid tampak sepi dan hanya ada seorang pria yang sedang duduk di teras masjid. Saat saya menghampiri dan mengajak berbicara dalam bahasa Inggris, ternyata dia hanya bisa berbahasa Thailand.
Dengan bahasa isyarat, ia pun mengarahkan saya ke ruang pengurusan jenazah, yang di dalamnya terdapat seorang perempuan dan laki-laki yang tengah merapikan kain kafan. Saya langsung mengucap salam kepada mereka dan bertanya dalam bahasa Inggris.
Beruntung, perempuan yang bernama Maryam itu bisa berbahasa Inggris. Maryam akhirnya memperkenalkan pria yang bersamanya tengah merapikan kain kafan. Abdul Hamid namanya. Ia merupakan Ketua Komunitas Muslim di sana. Saya lalu meminta izin untuk memotret interior masjid tersebut.
Seusai itu, saya kembali berbincang dengan Maryam. Ia mengatakan, Jawa Mosque merupakan pusat aktivitas keagamaan bagi umat Islam di Distrik Sathorn. Menurut Maryam, meski namanya seperti nama-nama orang Melayu, ia sama sekai tak bisa berbahasa Melayu.
Ia menambahkan, hampir semua penduduk di sana memang memiliki pertalian darah dengan orang Jawa yang pernah bekerja di Thailand.
Namun, hubungan itu sudah terlampau jauh sehingga generasi sekarang hanya bisa berbahasa Thailand, tanpa bisa berbahasa Jawa.
Maryam menuturkan, keberadaan Masjid Jawa juga dirasa penting bagi komunitas Islam di sana. Berbagai macam aktivitas keagamaan dilangsungkan hampir setiap hari.
Pada hari Senin hingga Jumat, setiap selesai shalat maghrib, ada pendidikan agama Islam yang diikuti oleh anak-anak usia sekolah. Kelas tersebut terletak persis di samping bangunan utama masjid.
Ada lima tingkatan yang harus dilalui oleh para muridnya. Di tingkatan pertama, mereka biasanya mempelajari cara membaca Al Quran. Di tingkat kedua, mereka mulai mempelajari hadis (sabda rasul) dan ilmu fikih (hukum dan aturan dalam Islam).
Selain itu, setiap Minggu, setelah shalat dzuhur, diadakan pula pengajian bagi orang tua. Pada bulan suci Ramadhan, kegiatan di masjid tersebut juga semakin banyak.
Setiap harinya, masjid tersebut menyediakan hidangan berbuka puasa gratis kepada jemaah masjid yang datang. Tak lupa, mereka menggelar shalat tarawih setiap malamnya.
Maryam mengatakan, keberadaan Masjid Jawa juga dirasa penting bagi komunitas Islam di sana.
Bagi mereka yang tak memiliki dana yang cukup untuk menguburkan anggota keluarganya yang meninggal dunia, Masjid Jawa menyediakan ambulans gratis untuk menjemput jenazah dari rumah sakit atau rumah untuk kemudian dimandikan dan dishalati di sana.
Selepas itu, jenazah dikuburkan di pemakaman Muslim yang terletak persis di seberang masjid. "Semua kami lakukan secara gratis, dana selama ini kami peroleh dari donasi sesama Muslim," ujar Maryam.
Karena jumlahnya yang minoritas, komunitas Muslim di Thailand terlihat sangat dekat satu sama lain. Meski demikian, mereka juga hidup berdampingan dengan penganut agama Buddha dan Kristen secara damai.
"Keberadaan masjid ini justru menjadi medium bagi umat Buddha dan Kristen di Thailand lebih mengenal Islam. Adanya azan yang mereka dengar dan segala aktivitas yang kami lakukan di tengah-tengah mereka menunjukkan kami bisa hidup damai berdampingan bersama mereka," kata Maryam.