Singkatnya pada 15 Januari 1888, Laboratorium Geneeskundig yang jadi cikal Lembaga Eijkman berdiri di Batavia, dan Christian Eijkman menjadi direktur pertamanya. Laboratorium ini didirikan atas saran Cornelis Adrianus Pekelharing, rekan Eijkman di Belanda, yang menginginkan adanya lab di rumah sakit militer di Batavia yang bersifat permanen.
Laboratorium medis itu kemudian mencetuskan untuk pertama kalinya, beri-beri adalah penyakit eksternal yang disebabkan kekurangan tiamin dalam tubuh manusia. Penelitian itu pun membuahkan temuan vitamin, yang kemudian membuat Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel pada 1929.
Lalu, dia meninggal pada 1930 di Utrecht, sehingga untuk mengenangnya laboratorium itu berganti nama pada 1938 menjadi Eijkman Instituut, yang ketika itu Kepala Laboratotium Medis Pusat dijabat oleh Achmad Mochtar.
Kisah Eijkman Instituut berlanjut selama Perang Dunia II. Makalah di The Asia-Pacific Journal tahun 2016 mengatakan, tentara Jepang menuduh Achmad Mochtar meracuni vaksin, yang rencananya akan digunakan untuk para budak.
J. Kevin Baird penulis makalah tersebut, dokter Angkatan Laut Amerika Serikat menilai, Mochtar kemungkinan adalah kambing hitam untuk percobaan vaksin tetanus toksoid yang gagal Jepang. Vaksin diujicoba terlebih dahulu pada budak, yang kemudian jika berhasil, akan diberikan pada pasukan mereka.
"Jepang tidak memberi tahu keluarga Mochtar tentang kematiannya, dan segera setelah itu mereka menyerahkan kendali atas Indonesia kepada pasukan Inggris yang dikirim untuk melucuti senjata dan memulangkan mereka," tulis Baird.
"Kepastian kematiannya akan muncul perlahan-lahan dengan kegagalannya untuk kembali, dan beberapa dekade akan berlalu sebelum kepastian bahwa dia tidak bersalah dalam pembantaian Klender juga nantinya akan muncul. Lembaga Eijkman yang bergengsi itu perlahan-lahan mati di tengah trauma peristiwa Klender dan perjuangan yang kejam dan berdarah dengan Belanda untuk kemerdekaan setelah perang."
Pada 1965, Eijkman Instituut ditutup karena pergolakan politik di tanah air, kemudian melebur ke dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang ada di dekatnya.
Baca Juga: Lika Liku Komunitas Arab Berbisnis di Batavia Sejak Abad Ke-19
Barulah pada 1990, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J Habibie memutuskan untuk membuka kembali lembaga ini. Lembaga Eijkman secara resmi dibuka dengan keputusan menteri No.475/M/Kp/VII/1992, dan baru beroperasi sepenuhnya pada 1993. Walau sempat mengalami masalah pada 1998 karena krisis keuangan, Lembaga Eijkman tetap berjalan.
Lembaga Eijkman kemudian mendapat pengakuan atas manfaat praktis untuk biologi molekuler, karena berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri yang tewas di depan Kedutaan Besar Australia tahun 2004.
Tahun 2021, Lembaga Eijkman juga memelopori penelitian untuk menciptakan vaksin dari dalam negeri. Rencananya, vaksin itu akan dipublikasikan pada tahun ini. Mereka telah aktif meneliti virus COVID-19 di Indonesia sejak 2020, dan menjadi penyuluh pertama sebelum merebak ke Indonesia.
Baca Juga: LBM Eijkman: Indonesia Sudah Lama Punya Alat Pendeteksi Virus Corona