Christiaan Eijkman, Peraih Nobel Kedokteran Perintis Lembaga Eijkman

By Utomo Priyambodo, Selasa, 4 Januari 2022 | 10:00 WIB
Lukisan potret Christiaan Eijkman yang dibuat oleh Jan Veth. (University Museum Utrecht/Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Belum ada satu pun ilmuwan Indonesia yang menjadi peraih Hadiah Nobel. Namun salah satu peneliti yang pernah meraih Hadiah Nobel di bidang Fisiologi atau Kedokteran, ternyata pernah berkiprah di Indonesia yang dulu masih bernama Hindia Belanda.

Nama ilmuwan tersebut adalah Christiaan Eijkman. Dikutip dari laman resmi Nobel Prize, Eijkman lahir pada 11 Agustus 1858 di Nijkerk, Gelderland, Belanda. Dia adalah anak ketujuh dari Christiaan Eijkman (ya, orang-orang Belanda dulu suka menamakan anaknya sama seperti nama ayahnya), kepala sekolah setempat, dan Johanna Alida Pool.

Setahun kemudian, pada tahun 1859, keluarga Eijkman pindah ke Zaandam. Di Zaandam ayahnya diangkat sebagai kepala sekolah yang baru didirikan untuk pendidikan dasar lanjutan. Di sinilah Christian dan saudara-saudaranya menerima pendidikan awal mereka.

Pada tahun 1875, setelah mengikuti ujian pendahuluan, Eijkman menjadi berhasil mahasiswa di Military Medical School di University of Amsterdam. Di sinilah ia dilatih sebagai petugas medis untuk Tentara Hindia Belanda dan ia berhasil melewati semua ujian akademik dengan pujian.

Dari tahun 1879 hingga 1881, Eijkman menjadi asisten T. Place, seorang profesor fisiologi. Selama waktu itu ia menulis tesisnya bertajuk On Polarization of the Nerves. Lewat tesis inilah ia mendapatkan gelar doktor, dengan pujian, pada 13 Juli 1883.

Pada tahun yang sama ia meninggalkan Belanda menuju Hindia Belanda. Di wilayah Nusantara yang sempat dikuasi Belanda inilah ia diangkat menjadi petugas kesehatan pertama di Semarang kemudian di Cilacap, sebuah desa kecil di pantai selatan Jawa, dan di Padang Sidempuan di Sumatra Barat. Di Cilacap ia terjangkit penyakit malaria yang kemudian sangat mengganggu kesehatannya sehingga pada tahun 1885 ia harus kembali ke Eropa dengan cuti sakit.

Sekembalinya ke Belanda, Eijkman kemudian berkesempatan bekerja di laboratorium E. Forster di Amsterdam, dan juga di laboratorium bakteriologi Robert Koch di Berlin. Di Berlin ini ia bertemu dengan A.C. Pekelharing dan C. Winkler, yang sedang mengunjungi ibu kota Jerman tersebut sebelum keberangkatan mereka ke Hindia Belanda.

Bermula dari pertemuan ini, Christiaan Eijkman kemudian diperbantukan sebagai asisten misi Pekelharing-Winkler, bersama dengan rekannya M. B. Romeny. Misi ini dikirim oleh Pemerintah Belanda untuk melakukan penyelidikan terhadap penyakit beri-beri, penyakit yang pada saat itu sedang memporak-porandakan wilayah Hindia Belanda.

Pada tahun 1887, Pekelharing dan Winkler dipanggil kembali ke Belanda. Namun sebelum keberangkatan mereka ke negeri kampung halaman, Pekelharing mengusulkan kepada Gubernur Jenderal agar laboratorium yang sementara didirikan untuk Commission in the Military Hospital di Batavia harus dibuat permanen.

Usulan ini langsung diterima, dan Christiaan Eijkman diangkat sebagai direktur pertama Geneeskundig Laboratorium tersebut, sekaligus menjadi direktur "Sekolah Dokter Djawa" (Sekolah Kedokteran Jawa). Dengan demikian, karier militer singkat Eijkman berakhir. Sekarang ia dapat mengabdikan dirinya sepenuhnya pada sains.

Eijkman menjabat sebagai pirektur Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Medis) sejak 15 Januari 1888 hingga 4 Maret 1896, dan selama itu ia melakukan sejumlah penelitian penting. Penelitian-penelitian awalnya berurusan dengan fisiologi orang-orang yang tinggal di daerah tropis.

Dia mampu menunjukkan bahwa sejumlah teori tidak memiliki dasar faktual. Sebagai contoh, Eijkman mengakhiri sejumlah spekulasi tentang aklimatisasi orang-orang Eropa di daerah tropis yang selama ini memerlukan berbagai tindakan pencegahan.

Baca Juga: Inilah Tiga Ilmuwan Peraih Nobel Kedokteran

Namun karya terbesar Eijkman berada di bidang yang sama sekali berbeda. Setelah kepergian Pekelharing dan Winkler, Eijkman menemukamn bahwa penyebab sebenarnya dari penyakit beri-beri adalah kekurangan beberapa zat penting dalam makanan pokok penduduk asli dan secara spesifik kemudian dikenal sebagai vitamin B1.

Penemuan ini telah menyebabkan adanya konsep vitamin. Pencapaian penting ini membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran untuk tahun 1929.

Pengakuan yang terlambat atas jasa-jasanya yang luar biasa ini telah mengakhiri semua kritik terhadap karya-karyanya. Selain meneliti beri-beri, Eijkman juga menyibukkan diri dengan masalah lain seperti fermentasi arach, dan masih sempat menulis dua buku pelajaran untuk murid-muridnya di Fakultas Kedokteran Jawa, satu tentang fisiologi dan yang lainnya tentang kimia organik.

Pada tahun 1898 ia menjadi penerus G. Van Overbeek de Meyer, sebagai Profesor di bidang Kebersihan dan Kedokteran Forensik di Utrecht. Pidato pengukuhannya berjudul Over Gezondheid en Ziekten in Tropische Gewesten (Tentang kesehatan dan penyakit di daerah tropis).

Di Utrecht, Eijkman beralih ke studi bakteriologi, dan melakukan uji fermentasinya yang terkenal, yang dengannya dapat dengan mudah menentukan apakah air tertentu telah tercemar oleh kotoran manusia dan hewan yang mengandung basil coli.

Sebagai seorang dosen, Eijkman juga dikenal karena kejernihan bicara dan demonstrasinya, pengetahuan praktisnya yang luar biasa. Dia memiliki pikiran yang sangat kritis dan dia terus menerus memperingatkan murid-muridnya terhadap penerimaan dogma.

Potret Eijkman Instituut tahun 1938. (Royal Tropical Institute)

Eijkman tidak hanya membatasi dirinya pada Universitas. Ia juga terlibat dalam masalah pasokan air, perumahan, kebersihan sekolah, pendidikan jasmani. Sebagai anggota Gezondheidsraad (Dewan Kesehatan) dan Gezondheidscommissie (Komisi Kesehatan) ia berpartisipasi dalam perjuangan melawan alkoholisme dan tuberkulosis. Dia adalah pendiri Vereeniging tot Bestrijding van de Tuberculose (Masyarakat untuk perjuangan melawan tuberkulosis).

Kepribadiannya yang sederhana telah berkontribusi pada fakta bahwa jasa baiknya pada awalnya tidak benar-benar dihargai di negaranya sendiri. Namun siapa pun yang memiliki hak istimewa untuk berhubungan dekat dengannya, dengan cepat merasakan kecerdasannya yang tajam dan pengetahuannya yang luas.

Baca Juga: LBM Eijkman: Indonesia Sudah Lama Punya Alat Pendeteksi Virus Corona

Pada 1907, Eijkman diangkat sebagai Anggota Royal Academy of Sciences (Belanda), setelah menjadi Koresponden sejak tahun 1895. Eijkman juga menjadi Foreign Associate dari National Academy of Sciences di Amerika Serikat dan Anggota Kehormatan dari Royal Sanitary Institute di Inggris.

Eijkman adalah pemarih Medali John Scott. Pemerintah Belanda juga telah menganugerahkan kepadanya beberapa gelar. Tetapi penghargaan terbesar dari semua karyanya adalah Hadiah Nobel pada tahun 1929.

Eijkman adalah peraih John Scott Medal, Philadelphia, dan Associate Asing dari National Academy of Sciences di Washington. Dia juga Anggota Kehormatan dari Royal Sanitary Institute di London.

Christian Eijkman adalah ilmuwan kedokteran asal Belanda yang mendirikan Lembaga Eijkman. Berawal dari laboratorium, di situlah ia mendapatkan penghargaan Nobel karena mengungkap teka-teki penyakit beri-beri. (Wikimedia Commons)

Eijkman sempat di Utrecht pada tanggal 5 November 1930, setelah sakit yang berkepanjangan. Ia meninggalkan seorang istri Bertha Julie Louise van der Kemp yang ia nikahi pada tahun 1888 dan seorang putra bernama Pieter Hendrik yang lahir pada tahun 1890 dan kemudian menjadi dokter.

Genneskundig Laboratorium di Batavia, tempat Eijkman melakukan penelitian-penelitiannya, berubah nama pada 1938. Pada peringatan 50 tahun berdirinya lembaga ini, nama Eijkman ditetapkan sebagai nama resmi lembaga tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap Christiaan Eijkman. Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Achmad Mochtar sebagai direktur pertama dari lembaga yang baru berubah nama tersebut.

Lembaga Eijkman sempat ditutup pada 1960 akibat gejolak pelotik dan kemudian digagas dibuka kembali oleh B.J. Habibie sejak 1990 dan secara resmi berdiri kembali pada 1992 dengan nama Lembaga Molekular Ejkman. Banyak hasil karya penelitian dari para peneliti lembaga ini yang mendunia. Nama-nama peneliti dari Lembaga Molekuler Eijkman seperti Herawati Sudoyo dan Amin Soebandrio beserta para anak didik mereka telah menorehkan karya-karya berpengaruh di sejumlah jurnal internasional yang bergengsi.

Baca Juga: Dua Ilmuwan Penemu Katalis Organik Dianugerahi Nobel Kimia 2021

Lembaga Molekuler Eijkman juga turut berperan dalam mengatasi berbagai wabah di Indonesia, termasuk menghadapi pandemi COVID-19 ini. Namun, dengan alasan birokrasi dan regulasi baru, lembaga tersebut kini dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Akibat peleburan ini, dikabarkan, sebanyak 120 peneliti dan staf Lembaga Eijkman dipecat tanpa pesangon.

Jika pemecatan 120 pegawai Eijkman dilakukan atas dalih perampingan organisasi baru dan efisiensi anggaran, alokasi anggaran pemerintah selama bertahun-tahun untuk sektor lainnya perlu dipertanyakan. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia menghabiskan anggaran sebesar Rp90,54 sepanjang 2014 sampai 2019 untuk membayar influencer atau buzzer guna mensosialisasikan kebijakan. Itu jelas angka yang sangat besar mengingat anggaran pemerintah untuk Lembaga Eijkman pada 2021 yang jelas-jelas kegiatannya penting untuk menghadapi pandemi ini "hanyalah" Rp28,8 miliar.

Dipecatnya ratusan pegawai Eijkman ini semakin menguatkan kekhawatiran banyak pihak sejak awal pembentukan BRIN. Banyak pihak menduga, pembentukan BRIN ini lebih bersifat untuk kepentingan politis ketimbang kepentingan sains karena Dewan Pengarah BRIN sendiri diketuai oleh Megawati Soekarnoputri yang jelas-jelas merupakan ketua umum partai politik, bukan tokoh yang selama ini berkiprah di bidang sains. Apakah ini artinya sains di Indonesia malah bergerak satu langkah ke belakang?

Baca Juga: Resep Medis 'Bapak Kedokteran' Tersingkap di Biara Kuno Mesir