Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru dari University of Liverpool telah menemukan bahwa mineralogi batuan yang terkena meteorit, bukan ukuran tumbukannya, menentukan seberapa mematikan dampak yang akan ditimbulkannya. Sebelumnya, kita telah terfokus pada ukuran, semakin besar ukuran meteorit, maka akan semakin besar pula dampak yang ditimbulkan. Namun, penelitian baru ini, telah membuka pandangan lain tentang hal itu.
Bumi telah dibombardir oleh meteorit sepanjang sejarahnya yang panjang. Dampak meteorit menghasilkan debu atmosfer dan menutupi permukaan bumi dengan puing-puing dan telah lama dianggap sebagai pemicu kepunahan massal sepanjang sejarah Bumi.
Sebuah tim peneliti multidisiplin dari University of Liverpool dan Instituto Tecnológico y de Energías Renovables, Tenerife dengan keahlian dalam paleontologi, stratigrafi asteroid, mineralogi, mikrofisika awan dan pemodelan iklim, berusaha untuk mengeksplorasi mengapa beberapa meteorit menyebabkan kepunahan massal, misalnya saja tumbukan K-Pg (Cretaceous-Paleogene) Chicxulub yang diyakini telah membunuh dinosaurus. Akan tetapi ada yang berukuran lebih besar justru tidak berdampak. Apa yang menyebabkannya?
Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, batas K-Pg secara integral terkait dengan dampak asteroid Chicxulub. Dampaknya telah menciptakan lapisan abu, iridium, dan puing-puing lainnya dengan memuntahkan pecahan batu dan asteroid ke seluruh dunia. Dampaknya juga telah menyebabkan kepunahan massal yang mengubah Bumi secara drastis. "Dampak Chicxulub" dan "batas K-Pg" sangat terkait sehingga hampir identik.
Untuk penelitian ini, para peneliti harus menganalisis 44 dampak selama 600 juta tahun terakhir menggunakan metode baru, yaitu menilai kandungan mineral dari debu yang dikeluarkan ke atmosfer saat tumbukan.
Temuan mereka, yang diterbitkan dalam Journal of the Geological Society of London pada 01 Desember 2021 berjudul Meteorites that produce K-feldspar-rich ejecta blankets correspond to mass extinctions, mengungkapkan bahwa meteorit yang menabrak batu yang kaya potasium feldspar (mineral umum dan agak jinak) selalu sesuai dengan episode kepunahan massal, terlepas dari ukurannya.
Baca Juga: Kepunahan Masa Kelam Usai Hujan Meteor yang Memusnahkan Dinosaurus
Potassium feldspar tidak beracun. Namun, ini adalah aerosol mineral nukleasi es yang kuat yang sangat memengaruhi dinamika awan, yang membuatnya membiarkan lebih banyak radiasi matahari. Ini pada gilirannya menghangatkan planet ini dan mengubah iklim. Atmosfer juga menjadi lebih sensitif terhadap pemanasan dari emisi gas rumah kaca, seperti letusan gunung berapi yang besar.
Melansir Tech Explorist, Ahli sedimentologi Liverpool, Dr Chris Stevenson, dari fakultas Ilmu Bumi, Kelautan dan Ekologi Universitas yang turut menulis penelitian ini mengatakan, "Selama beberapa dekade para ilmuwan telah bingung mengapa beberapa meteorit menyebabkan kepunahan massal, dan yang lainnya, bahkan yang sangat besar, tidak?”
"Mengejutkan ketika kami mengumpulkan data: kehidupan berjalan seperti biasa selama tumbukan terbesar ke-4 dengan diameter kawah ~48 km, sedangkan tumbukan setengah ukuran dikaitkan dengan kepunahan massal hanya 5 juta tahun yang lalu. Banyak mekanisme pembunuhan telah diusulkan, seperti letusan gunung berapi besar, tetapi seperti halnya meteorit, ini tidak selalu berkorelasi dengan kepunahan massal. Dengan menggunakan metode baru ini untuk menilai kandungan mineral dari selimut pelontar meteorit, kami menemukan bahwa setiap kali meteorit, besar atau kecil, menabrak batu yang kaya potasium feldspar, itu berkorelasi dengan peristiwa kepunahan massal.” tutur Stevenson.
Temuan ini telah membuka jalan penelitian yang sama sekali baru, apa sebenarnya yang membunuh kehidupan selama episode ini, dan berapa lama efek potasium feldspar bertahan? Sampai sekarang, hanya meteorit yang mengubah rezim aerosol iklim. Namun, aktivitas manusia saat ini mewakili mekanisme serupa dengan meningkatnya emisi aerosol mineral ke atmosfer.
Baca Juga: Melihat Peta 190 Kawah di Bumi Bekas Hantaman Meteor dan Asteroid