Nationalgeographic.co.id - Seperti budaya dan agamanya, aksara dan bahasa di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh peradaban-peradaban lainnya yang memiliki hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di dalamya.
Kita mengenal aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta, kemudian mengalami modifikasi menjadi bahasa dan aksara kita sejak masa Hindu-Buddha.
Ketika Islam masuk, budaya, agama, bahasa, dan aksara itu juga masuk ke Nusantara yang juga diadopsi dan dimodifikasi. Pengaruh itu melahirkan aksara Jawi, yang sisa-sisa peninggalannya masih terekam hingga kini di beberapa tempat di Asia Tenggara.
Baca Juga: Sepiring Mi Aceh: Teladan Cerita Kota Rempah dalam Kesejatian Rasa
Aksara Jawa di kepulauan Nusantara muncul pada masa Kesultanan Pasai. Meski kesultanan Islam pertama ini berdiri di abad ke-13, aksara itu baru muncul seabad berikutnya, berdasarkan catatan prasasti Trengganu di Malaysia. Walau kesannya memiliki huruf Arab, aksara Jawi lebih menyesuaikan pengejaan bahasa Melayu.
"Kebanyakan pengkaji berpendapat, skrip Arab mulai diadaptasikan sebagai skrip untuk ejaan bahasa Melayu sesudah abad ke-7H (Hijriyah)/13M," tulis Sabariah Sulaiman dan Nur Hidayah Rashidi dari Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia. Mereka menulis makalah yang diterbitkan di jurnal Pendeta tahun 2015.
Aksara Jawi ini mengantarkan bahasa rumpun Melayu yang digunakan banyak kerajaan Islam pada masa-masa berikutnya, mencapai kancah internasional. Sabariah dan Nur menuliskan, aksara ini ditemukan dalam berbagai surat diplomasi, seperti yang dilakukan Sultan Ternate Ab-e Hayat dari Ternate yang menulis kepada Raja Spanyol Carlos I tahun 1521 dan 1522.
Baca Juga: Menelisik Asal Nama 'Sumatra' dalam Catatan Penjelajah Barat dan Islam
Ada pula penulisan aksara Jawi berbahasa Melayu ditemukan dalam surat yang dibuat Sultan Aceh kepada kapitan Inggris, James Lancester pada 1601, dan raja Inggris James I pada 1612.
"Dengan keadaannya yang mudah dipelajari, akhirnya bahasa Melayu-Islam telah mendapat tempat, menjadi bahasa perantara (lingua franca) dan digunakan dengan begitu meluas di lama Melayu terutamanya dalam bidang perdagangan dalam kalangan orang bukan Melayu," lanjut mereka.
Meski demikian, penulisan aksara Jawi memiliki keunikan penggunaan dari huruf Arab aslinya. Dwi Essy Ramala dari Universitas Pendidikan Indonesia dalam jurnal Islamika (2020), aksara Jawi ini berbeda dengan Arab karena faktor penyesuaian bahasa seperti penggunaan tanda baca.
Aksara Jawi benar-benar menghilangkan unsur atau tanda baca yang berlaku pada huruf Arab agar tidak 'bertabrakan', sehingga hakikatnya adalah menjadi aksara tersendiri dari rumpun Melayu. Penggunaan istilah Jawi ini sendiri berasal dari kata 'Jawiyyah' atau Jawa yang saat itu digunakan bangsa Arab untuk menunjuk kepulauan di Asia Tenggara.
Baca Juga: Rumah Letnan Arab dan Kampong Arab di dalam Kampong Cina Ternate
Meski demikian, penggunaannya secara resmi ada di luar Jawa, seperti di Riau, Malaysia, Pattani, dan Kerajaan Brunei Darussalam. Bahkan, sistem penulisannya dibukukan dalam Pedoman Ejaan Jawi yang Disempurnakan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia.
Pada masa kolonialisme, aksara Jawi dikaji oleh orang Melayu untuk kebahasaan. Misalnya, oleh Raja Ali Haji, yang memperkenalkan literatur bahasa Melayu dan aksaranya dengan buku berbahasa Arab Bustan al-Katibin Li al-Sibyan al Muta'allimin (Taman Para Penulis untuk Anak-anak Pelajar).
Aksara ini menjadi senjata perlawanan terhadap kolonialisme itu sendiri di bidang bahasa, ketika ahli bahasa umumnya sangat menonjolkan corak bahasa Eropa dalam kajian Melayu. Sementara Ali Haji menonjolkan corak bahasa Arab dalam kajian bahasa Melayu.
"Melihat fenomena kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada bidang bahasa, pada mulanya dipengaruhi oleh letak geografisnya yang saling berdekatan," tulis Dwi.
Baca Juga: Filosofi Warna pada Pakaian Adat Melayu Pulau Penyengat
"Jika kita telusuri lagi dari jaman penjajahan, maka Alam Melayu telah mengalami perebutan kekuasaan oleh dua negara besar seperti Inggris dan Belanda, sehingga terjadilah perbedaan penyerapan kata di antara dua bahasa tersebut."
"Namun, terlepas dari adanya 'kolonialisme bahasa', aksara Jawi tidak ada kaitannya dengan dialek-dialek Melayu, sebab aksara Jawi hanya dipergunakan untuk keperluan tulisan saja," lanjutnya. Aksara ini memiliki 'saudara', yakni huruf Pegon yang penggunaannya untuk menyesuaikan bahasa di Pulau Jawa seperti Sunda, Jawa, dan Madura.
Singkatnya, aksara ini muncul dari keinginan orang Melayu untuk membentuk aksaranya sendiri, dengan mengadopsi kebudayaan dari Arab dan Parsi.