Sarung Sebagai Simbol Kekayaan Budaya Asia dari Masa ke Masa

By Galih Pranata, Senin, 10 Januari 2022 | 08:00 WIB
Para wanita Minahasa berkebaya dan mengenakan sarung, sekitar tahun 1900-an. (Ohannes Kurkdjian/KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Lebih dari sekadar tampilan tenunan indah dari tradisi dan budaya Asia yang kaya, sarung telah digunakan dari waktu ke waktu sebagai alat untuk mengendalikan komunitas etnis dan menantang sistem yang menindas. 

"Sarung, secara lentur didefinisikan sebagai sepotong kain panjang yang melilit tubuh, merupakan salah satu pakaian tertua yang digunakan di seluruh Nusantara dan kawasan Asia secara luas," tulis Zein.

Zafirah Mohamed Zein menulisnya kepada Kontinentalist, dalam artikelnya berjudul A sarong's story: Reclaiming Asia’s versatile cloth, yang dipublikasikan pada 10 Juni 2021.

Berasal dari kata 'sarung' dalam bahasa Melayu atau Indonesia, yang berarti 'menutup' atau 'menutupi', kain ini secara tradisional diikatkan di pinggang seperti tabung yang menutup, melingkari tubuh.

Sarung diyakini sebagai jenis kain tenun pertama yang digunakan oleh pria dan wanita di wilayah Melayu, Sumatera dan Jawa, yang terus berkembang hingga ke seluruh daratan Asia.

"Kain diikat di pinggul atau di bawah lengan dengan membawa kedua ujungnya ke tengah atau menariknya ke tengah," imbuh Zein. Pada era modern, variasi sarung berkembang di seluruh Asia, sebagian Afrika, dan Semenanjung Arab.

Sarung di negara-negara Mekong, di mana tenun tekstil merupakan bagian penting dari budaya lokal, melilitkan kain yang belum dipotong di sekitar tubuh dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno.

Baca Juga: Tradisi Suku Bugis, Dua Pemuda Selesaikan Masalah dengan Badik dan Dikurung dalam Satu Sarung

Sarung dengan cepat menjadi jenis busana yang digandrungi penduduk Asia, karena sarung memungkinkan udara bersirkulasi ke seluruh tubuh, menjaga pemakainya tetap sejuk di iklim panas dan lembab. 

"Mudah dilipat dan disimpan, keserbagunaan sarung terlihat di mana-mana di seluruh lanskap Asia Tenggara," terusnya.

Tersampir di bahu, kain persegi panjang yang bisa menahan bayi saat sedang tidur, serta dapat melindungi pemakainya dari terik matahari saat ditangkup di atas kepala atau disampirkan di bahu.

Sarung menemukan jalannya ke kepulauan Indonesia melalui pelaut sekaligus pedagang Arab dan India, yang menetap, menciptakan pemukiman di dekat Sumatera dan pulau-pulau Jawa.

"Para pedagang Muslim ini mengenakan sarung untuk menutupi diri mereka dengan benar selama salat—sebuah praktik yang kemudian diadopsi oleh penduduk setempat," ungkap Zein.

Setelah berangsur-angsur lamanya, saat ini, banyak pria Muslim di wilayah Asia Tenggara lebih populer dalam mengenakan sarung -terkadang bermotif kotak-kotak ke masjid untuk menunaikan shalat.

Bentuk dan corak sarung banyak bercerita tentang pemakainya atau komunitas asalnya. Sarung dapat mengungkapkan kelas sosial atau suku mana seseorang berasal, serta tingkat formalitas suatu acara.

Seperti halnya Orang Melayu, mereka memesan songket—sejenis sarung khusus yang disulam dengan benang emas dan perak—untuk upacara khusus seperti pernikahan.

Baca Juga: Arkeolog Selidiki Temuan Potongan Kain Era Raja Daud di Lembah Israel

Adapun budaya di Sumba Timur, Indonesia, hanya bangsawan yang diizinkan memakai sarung kain berwarna cerah dan rumit, sedangkan rakyat biasa dibatasi satu atau dua warna dan pola polos. 

Dijunjung tinggi oleh masyarakat asli di Asia Tenggara, sarung kehilangan banyak kehormatan dan kemuliaan selama berlangsungnya periode kolonial.

Administrator kolonial memandang rendah pakaian lokal sebagai inferior dan primitif, kemudian memaksakan aturan berpakaian kaum terjajah untuk lebih menegakkan hegemoni budaya kolonial. 

Busana pernikahan ala Melayu lengkap dengan sarung, sekitar tahun 1910. (Smithsonian Libraries)

Contoh yang paling mudah dijumpai, pada tahun 1872, Belanda memperkenalkan undang-undang di Hindia-Belanda yang mewajibkan setiap orang untuk mengenakan pakaian bangsa Eropa di tempat umum.

Wanita Belanda dan Eurasia juga dilarang mengenakan sarung di depan umum, karena menyiratkan bahwa mereka telah menjadi pribumi, yang cenderung rendah dan primitif.

Meskipun sebagian besar orang Belanda menganggap sarung itu terbelakang dan merendahkan, beberapa wanita Belanda masih saja memakainya di rumah. Bagaimanapun, sarung memberi kemudahan dalam bergerak dan kesesuaiannya dengan iklim tropis.

Namun, para wanita Eropa tetap berupaya membedakan diri mereka dari wanita pribumi dengan membuat sarung mereka sendiri, dengan desain batik yang dipengaruhi gaya Eropa dan kainnya yang terkesan mewah. 

Sarung yang dipengaruhi Eropa ini sangat diminati sebagai barang eksotik sehingga bahkan diekspor dan dijual di kota metropolitan kolonial, terutama pada masa-masa awal penjajahan.

Baca Juga: Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem