Munculnya Kreativitas Masyarakat Bandung dalam Pariwisata Kolonial

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 6 Januari 2022 | 15:00 WIB
Jalan Braga di Kota Bandung sekitar 1930-an. Kawasan ini disebut sebagai jalan yang sangat Eropa di tanah Hindia yang menarik wisatawan Eropa pada masanya. (Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—"Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi." Itulah yang digambarkan Pidi Baiq tentang Bandung.

Banyak hal dari kota itu yang mudah untuk diromantisisasi, sehingga dikenal dengan ragam budaya kontemporernya yang berkembang berkat tangan-tangan kreatif orang di dalamnya. Siapa yang tidak kenal dengan buah kreativitas itu? Mulai dari baju distro yang mewabahi pasar fashion hingga banyak musisi dan band musik yang berasal dari kota itu.

Sebenarnya hal-hal kreatif di Bandung lahir, tidak lepas dari sejarahnya sebagai kota adminisitratif.

Sebelumnya, pusat administratif itu adalah Krapyak atau yang kini disebut Dayeuh Kolot di tepi Sungai Citarum. Semenjak Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos, dia menginstruksikan Bupati Wiranatakusumah II (1794-1829) memindahkan ibukotanya agar dekat dengan proyek itu. Maka dipilihlah kawasan Kota Bandung modern sebagai lokasi yang baru.

Kepindahan itu lambat laun menjadikan kawasan barunya ramai. Hingga akhirnya pada 1864, Bandung statusnya pun berubah sebagai ibu kota Priangan menggantikan Cianjur, setelah sebelumnya Residen C.P.C. Steinmetz menginginkan rumah dinas di sana. Perpindahan ini berdasarkan Staatsblad tanggal 7 Agustus 1864 No. 18, yang ditetapkan Gubernur Jenderal Sloet van de Beele.

Pemindahan adminsitratif itu membuat Bandung bermunculan infrastruktur yang menopang kota, seperti sekolah negeri dan swasta, penambahan jalan, jaringan telegraf dan telepon, hingga hotel dan perkantoran. 

Modernitas tidak terelakkan di Bandung, karena perkembangan dan dinamikanya. Bupati R.A.A Martanegara mengganti seluruh atap rumah penduduk pribumi dengan genting, mengikuti gaya barat.

Rencana mengintegrasikan Bandung dengan jalur kereta Bogor-Cilacap mulai digagas pada 1875. Jalur kereta api pun mulai merambah Bandung pada 1884. 

Pembangunan jalur kereta Batavia-Surabaya telah dibangun lebih dahulu pada akhir abad ke-19. Pembangunan jalur kereta di Bandung berarti mengaitkan kota ini dengan kota-kota lainnya. "Jalur kereta dari Batavia menuju Surabaya yang melewati Bandung memberikan pengaruh pada para pengusaha restoran, losmen, dan hotel di Bandung," tulis Achmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia di jurnal Paradigma (2020). "Situasi itu membuat pengusaha transportasi delman dan sado menambah armadanya. Pada 1903, delman dan Sado di Bandung berjumlah 687 buah."

Sajian Rijsttafel di restoran Hotel Homann di Bandoeng pada 1933 yang menjadi daya tarik wisata kota itu. (KITLV)

Industri pariwisata turut berkembang pesat karena peluang ini, lewat pembangunan fasilitas dan sarana yang dibantu perusahaan swasta pada pertengahan 1890-an. Salah satu area rekreasi yang berdiri kala itu adalah Pieter Park, atau Taman Dewi Sartika kini.

Belum lagi pengaruh orang Eropa yang banyak singgah di paruh akhir abad ke-19 itu, membuat Bandung memiliki kawasan 'paling bernuansa Eropa di Hindia Belanda' seperti Jalan Braga.