Kongres IAAI dan PIA 2017, Wadah Penyelamatan Arkeologi Maritim Indonesia

By , Selasa, 25 Juli 2017 | 19:00 WIB

“Ibarat harta karun, manusia sekarang cenderung merampas temuan kemaritiman yang dapat merekonstruksi hubungan masyarakat Indonesia antar pulau maupun dengan negara lain. Resiko terbesar adalah apa yang terkandung di laut daripada di darat."

Kalimat itu begitu tegas dituturkan Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Minggu malam lalu, National Geographic Indonesia mendapat kesempatan berbincang dengan Junus via telepon.

Perbincangan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) XIV yang diselenggarakan mulai Senin, 24 Juli, hingga Kamis, 27 Juli 2017 di Bogor.

Junus berujar, Kongres IAAI menghadirkan kurang lebih 400 anggota IAAI dari seluruh Indonesia. Isu yang akan dibicarakan adalah pengembangan organisasi, persoalan kode etik pelestarian, persoalan pelestarian cagar budaya—termasuk temuan arkeologi bawah air—dan penandatanganan kesepakatan bersama untuk melestarikan cagar budaya oleh 4 organisasi profesi, yaitu IAAI, Masyarakat Sejarawan Indonesia, Asosiasi Antropologi Indonesia, dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Di samping itu, juga dilaksanakan PIA dengan tema “Perkembangan Arkeologi Kemaritiman”,  yang menyajikan 50 makalah mengenai tradisi kemaritiman dari para anggota di 9 komisariat daerah (Komda) di seluruh Indonesia. Hadir pula perwakilan Menteri Kelautan dan Perikanan, perwakilan Asosiasi Antropologi Indonesia, dan perwakilan Masyarakat Sejarawan Indonesia yang akan menjadi pembicara PIA.

Dalam PIA, diaspora masyarakat maritim nusantara menjadi salah satu isu penting. Junus mengatakan, diaspora berkaitan dengan persebaran manusia yang menjadi unsur penting dalam budaya kemaritiman.

“Setiap masyarakat di wilayah Indonesia memiliki tradisi pelayaran, teknologi, dan minat yang berbeda. Hal-hal semacam ini perlu kita telusuri. Dari situ kita akan tahu, bagaimana orang zaman dahulu bermigrasi dari satu pulau ke pulau lain,” ujarnya.

Selain itu, studi budaya maritim juga menjadi urgensi. Pasalnya, belum banyak kajian yang berbicara tentang studi kemaritiman dalam konteks Indonesia. Hanya pulau-pulau kecil Indonesia yang seringkali disebut dalam beberapa penelitian, bukan Indonesia secara keseluruhan.

Identitas Budaya Maritim

Topik penting lain yang dibahas adalah identitas budaya maritim Indonesia. Pembahasan mengenai wujud-wujud ekspresi budaya kelautan kelompok masyarakat di Indonesia akan didiskusikan dalam pertemuan ini.

Menurut Junus, orientasi kajian sejarah Indonesia selama ini lebih terfokus pada daratan, sedangkan maritim masih belum mendapat perhatian. “Kita ingin mendorong keseimbangan kajian antara daratan dan kemaritiman ke depannya. Sebab, kalau kita melihat ke daratan saja, kebudayaan yang hidup di pulau-pulau itu seolah terpisah. Padahal, kebudayaan di masa lalu itu menjadi satu”, jelas Junus.

Senada dengan Junus, Bambang Budi Utomo, Peneliti Utama Kajian Arkeologi Maritim pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Pusarkenas) mengungkapkan bahwa Museum Bahari—yang selama ini menjadi satu-satunya museum kemaritiman di Indonesia—masih belum memadai dalam mengekspresikan budaya bahari Indonesia. Jika diibaratkan, museum tersebut hanyalah ringkasan dari keseluruhan budaya maritim Indonesia.

“Saat ini kita perlu mengangkat kembali hal-hal yang berkaitan dengan kebaharian. Bangsa ini sudah terlalu lama fokus kepada penemuan daratan. Dulu, pada zaman Kerajaan Gowa-Tallo, kita mempunyai semacam hukum laut bernama Amannagappa, etika pelayaran dan perdagangan. Namun, orang sekarang sudah lupa pada aturan itu,” jelas Bambang, ketika dihubungi di kesempatan berbeda.