Potret Kehidupan Penghuni "Bilik Peti Mati", Ironi di Balik Gemerlapnya Kota Hongkong

By , Kamis, 27 Juli 2017 | 17:00 WIB

"Merekalah orang-orang yang datang ke kehidupan Anda setiap hari: mereka melayani Anda sebagai pelayan di restauran tempat Anda makan, mereka adalah petugas keamanan yang menjaga pusat perbelanjaan tempat Anda berjalan-jalan, atau petugas kebersihan di sana dan para kurir di jalan yang tiap hari Anda lewati. Perbedaan di antara kita dan mereka hanyalah rumahnya. Ini adalah sebuah masalah tentang martabat manusia."

Anggota keluarga Li Chong ini—ayah dan anak laki-laki—adalah orang Jepang. Keduanya sangat tinggi, mereka merasa sulit untuk bergerak di dalam bilik kecil itu. (Benny Lam)

Lam menemukan sebuah foto yang memilukan. Dalam foto itu, seorang pria berbaring di ranjangnya. Pria itu bahkan tak dapat menyelenjorkan kaki sepenuhnya, dan bagian lututnya menyentuh dinding bilik peti mati. Ia makan kacang panggang dari kaleng—mungkin makan malam, dan menonton TV kecil yang menampilkan gambar pelangi. Binatu bergelantungan dari langit-langit yang rendah.

Foto-foto ini diambil untuk SoCO, sebuah LSM yang memperjuangkan perubahan kebijakan dan standar kehidupan yang layak di kota. (Benny Lam)

Bagi Lam, itu adalah contoh klasik untuk menunjukkan pada lebih banyak penduduk yang berkecukupan dan pemerintah, mengapa mereka harus bertindak untuk mengatasi krisis perumahan dan kesetaraan pendapatan di Hongkong.

Orang-orang di Hongkong kesulitan untuk mendapatkan rumah kecil dan sederhana bagi diri mereka sendiri. (Benny Lam)

Keteguhan hati para laki-laki, perempuan, dan keluarga yang membuka pintu rumah serta berbagi cerita mereka dengan orang asing, melekat kuat dalam benak Lam. Sebagian besar dari mereka merasa malu tinggal di ruang sempit semacam itu, kata Lam. Tetapi mereka berharap saat orang-orang melihat foto-foto ini, mereka akan mendapatkan bantuan dan dukungan.

Hongkong telah lama dikenal karena kemakmurannya, namun di balik kemewahannya, terdapat sebuah dunia yang dipenuhi oleh pondok liar dan rumah kandang. (Benny Lam)