“Mohammad Hatta pernah bilang bahwa kamu harus ke Bandanaira untuk melihat Indonesia,” kata Jay Subyakto.
Banda, bagi Jay, adalah sebuah pulau yang memiliki keajaiban. Di sekeping pulau rempah itu para Bapak Bangsa pernah merumuskan konsep nasionalisme Indonesia. Dan, itulah salah satu alasan Jay memilih Banda sebagai latar filmnya.
Pada tanggal 31 Juli, Lifelike Pictures meluncurkan film Banda the Dark Forgotten Trail yang bertepatan dengan 350 tahun Perjanjian Breda. Perjanjian tersebut adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris pada 31 Juli 1667 di Kota Breda, Belanda.
Isi perjanjian itu adalah Inggris harus angkat kaki dari pulau Run. Dan sebagai gantinya, Belanda menyerahkan Pulau Manhattan yang kala itu dinamai Nieuw Amsterdam oleh Belanda, dan kini dinamai New York oleh Inggris.
Produser film Banda, Sheila Timothy memilih Jay Subyakto sebagai Sutradara. Untuk penulis naskahnya, Sheila memilih Irfan Ramli. Film Banda telah tayang secara serentak di bioskop Indonesia pada 3 Agustus.
Film Banda, berkisah ketika bangsa Eropa mengarungi samudera untuk mencari rempah, hingga menemukan Banda dan kemudian memperebutkannya. Film ini bercerita tentang; empat Bapak Bangsa yang diasingkan di sana–yaitu Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri–konflik agama yang terjadi pada tahun 1999; juga tentang Banda hari ini.
Film dengan latar musik gubahan Barasuara ini mengisahkan tiga era; perebutan rempah, pengasingan para Bapak Bangsa, dan reformasi.
Menurut Jay, Banda menyimpan banyak cerita. Genosida di Indonesia pertama kali terjadi di Banda. Perbudakan, kolonialisme dan kapitalisme pun tumbuh di Banda. Bagaimana Moh. Hatta dan Sjahrir membentuk Negara Kesatuan setelah melihat Banda. Melihat suku-suku di Banda bersatu dan berjuang bersama, mereka percaya bahwa bangsa Indonesia pun dapat melakukan hal yang sama.
Jay juga menceritakan tentang masyarakat Banda yang dibilang sakti oleh Belanda. Yang jika dibelah dua mereka dapat hidup kembali sehingga para tentara belanda harus memutilasinya. Salah satunya yaitu dengan cara mengikatkan kaki dan tangan tahanan ke empat kuda, kemudian keempat kuda tersebut berlari ke arah yang berbeda. Setelah itu kepalanya dipenggal dan ditancap di bambu, lalu dipajang di benteng, supaya tidak ada lagi yang berani melawan.
Gunung Api di Kepulauan Banda. (Thinkstock)
Pembantaian tersebut diilustrasikan dalam bentuk animasi, membuat film ini dapat ditonton oleh semua umur. Visualisasi yang grainy sekaligus artistik, serta iringan puisi Chairil Anwar menemani kita menyelami sejarah Indonesia lewat film Banda. Jay memvisualisasikan kisah sejarah Indonesia–yang menurut banyak orang membosankan–menjadi menarik.
“Ketika saya dikontak oleh produser,” kata Irfan, “Dia bilang, saya butuh scriptwriter untuk menulis jalur rempah.” Irfan langsung mengatakan, “Kalau kita mau bikin jalur rempah, berarti kita harus keliling dunia, karena jalur ini sendiri mencakup keseluruhan jalur laut yang kita kenal sekarang. Jadi kita mungkin akan menyaksikan film mengenai jalur rempah ini bukan di Banda, tapi openingnya mungkin akan di Granda atau di Zanzibar.”
Tapi karena keliling dunia bisa dibilang adalah hal yang tak mungkin dilakukan, Irfan menawarkan tempat, Maluku Utara atau Kepulauan Banda. Kemudian mereka pilih Banda karena di sana menyimpan banyak pala juga sejarah bangsa Inodnesia.
Jay bilang, ia tidak ingin melihat film lain sebelumnya sebagai referensi. Ia ingin film ini adalah film yang “berbeda”, yang belum pernah orang-orang lihat sebelumnya.Tak ada keterlibatan orang lain yang memengaruhi Jay dalam pembentukan idenya, bahkan produser pun tidak ikut mengintervensi.
“Saya tidak mau lihat referensi, nanti ceritanya itu akan datang kalau kita ke Bandanaira,” kata Jay.
Sewaktu di proses penulisan naskah, Irfan menuturkan bahwa ia sempat bertanya pada Jay mengenai referensi, Jay menjawab, “Kita tidak punya referensi. Karena kalau kita punya referensi, berarti tidak menarik lagi untuk dikerjakan.”
“Jadi ini benar-benar 1,5 tahun yang penuh dengan insecure,” kata Irfan. Setiap prosesnya, bagi Irfan, butuh ketahanan. Mereka tidak punya patokan yang hampir persis, seperti yang biasa dibayangkan dalam proses pembuatan film. Kesulitan ini menjadi menarik baginya.
Penduduk Negeri Salamun mandi di pantai dan bermain perahu saat matahari mulai menjelang ke peraduan. Di latar belakang, terlihat Pulau Gunungapi Banda dan Pulau Naira. (Feri Latief)
Saat proses pemilihan gambar oleh editor, gambar mana yang akan digunakan untuk film Banda. Jay menginterupsi dan melakukan proses pemilihan gambar–dari total gambar sejumlah 16 TB–tersebut sendiri, dan proses pemilihan itu memakan waktu 2 bulan.
“Pertama saya kasih ke editor, gambar yang auto fokus dan gambar yang goyang malah dibuang. Jangan,” kata Jay, “Justru saya mau yang itu. Akhirnya saya pilih sendiri.”
Rencananya, kata Jay, ia akan memutar film Banda di sekolah-sekolah sebagai sebuah pelajaran sejarah Indonesia. Mengemas pelajaran sejarah di bangku sekolah agar menarik dipelajari.
Jay merencanakan juga akan membuat film Banda dalam narasi serta subtitle bahasa Inggris. Ia berencana mengikuti festival film dokumenter pada bulan November mendatang di Amsterdam.
“Kita mau putar film Banda di Belanda,” kata Jay, “Ketua festivalnya senang karena film ini menggambarkan Banda dari perspektif orang Indonesia, dia suka dengan konsepnya.”
Bagi Irfan, melupakan masa lalu dapat mematikan masa depan suatu bangsa. Dari film Banda ini, ia ingin menceritakan kisah masyarakat yang melarat di atas tanah yang gemah repah loh jinawi. Dan sejarah masyarakat Indonesia yang multikultural dalam memerjuangkan tanah Banda mereka.