Dopamin memiliki peran penting dalam otak, mengarahkan perhatian kita pada segala sesuatu dalam lingkungan seperti makanan mengundang selera yang terkait dengan perasaan imbalan. Sistem dopamin menjadi aktif mengharapkan rasa kesenangan.
Ini artinya perhatian kita bisa ditarik ke kue dan cokelat ketika kita sebetulnya sedang tidak lapar, membangkitkan keinginan yang kuat. Rutinitas kita bahkan bisa menyebabkan keinginan yang sangat pada gula. Secara tidak sadar kita bisa menginginkan sebatang cokelat atau minuman berkarbonasi di sore hari jika itu merupakan bagian normal dari kebiasaan sehari-hari kita.
Baca juga Konsumsi Gula dalam Kadar Tinggi Tingkatkan Risiko Gangguan Mental Pada Pria
!break!
Toleransi gula
Akivasi berulang-ulang sistem imbalan dopamin, misalnya dengan mengonsumsi banyak makanan mengandung gula, menyebabkan otak beradaptasi dengan seringnya stimulasi sistem imbalan. Ketika kita menikmati makanan-makanan tersebut secara teratur, sistem itu mulai berubah untuk mencegahnya menjadi terstimulasi secara berlebihan. Secara khusus, reseptor-reseptor dopamin mulai melakukan proses downregulation atau pengurangan diri.
Karena reseptor yang harus diikat dopamin menjadi semakin sedikit, maka ketika kemudian kita memakan makanan tersebut, efeknya menjadi tumpul. Semakin banyak gula yang dibutuhkan ketika kita makan selanjutnya untuk mendapatkan perasaan imbalan yang sama.
Ini sama dengan toleransi dalam kecanduan narkoba, dan menyebabkan peningkatan konsumsi. Konsekuensi-konsekuensi negatif dari konsumsi tak terkendali makanan-makanan bergula meliputi pertambahan berat tubuh, gigi berlubang, dan gangguan metabolis termasuk diabetes tipe-2.
Baca juga Manisnya Gula
!break!
Meninggalkan gula bisa menyebabkan ‘sakaw’
Gula bisa mencengkeramkan pengaruh kuatnya atas perilaku kita, sehingga sangat sulit menyingkirkannya dari makanan kita. Dan berhenti memakan makanan berkadar gula tinggi secara mendadak menyebabkan withdrawal effect atau ‘sakaw’.