Nationalgeographic.co.id - Film Pengabdi Setan karya Joko Anwar berkisah tentang seorang ibu, yang setelah terbujur sakit selama tiga tahun, meninggal kemudian bangkit menjadi hantu dan menyebarkan teror.
Film ini yang telah meraup 1.7 juta penonton dalam kurang lebih 10 hari—merupakan adaptasi film berjudul sama di tahun 1980.
Kisah hantu perempuan “Ibu"—juga kuntilanak, sundel bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol—sebenarnya menyimpan penanda soal masalah besar yang menghantui para perempuan Indonesia: rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dan tiadanya perasaan aman dari kekerasan.
Cerita soal ibu atau perempuan yang berbalik perannya dari pemberi kasih sayang menjadi sosok penuh dendam dengan agenda kelam cukup lazim dalam tradisi horor Indonesia.
Contohnya, kuntilanak adalah hantu perempuan yang meninggal saat melahirkan. Sundel bolong adalah perempuan yang diperkosa yang juga meninggal saat melahirkan. Apabila kuntilanak menghantui perempuan usai persalinan dan melarikan bayi baru lahir; maka sundel bolong meneror lelaki yang berjalan sendirian di malam hari.
Jangan lupa satu sosok hantu perempuan legendaris Si Manis Jembatan Ancol adalah perempuan yang meninggal diperkosa yang kemudian membalaskan dendamnya.
Figur mistis yang sedikit berbeda adalah Nyai Roro Kidul yang dipercaya sebagai ratu penguasa dunia gaib di Laut Selatan serta menjadi istri mistis setiap raja Mataram.
Untuk tahu lebih banyak tentang konteks keperempuanan dan dunia mistis bisa membaca kumpulan cerpen penulis, akademisi, dan feminis Intan Paramaditha Sihir Perempuan serta Kumpulan Budak Setan.
Kuntilanak: korban sulitnya mengakses layanan publik
Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer tersebut: yaitu terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan dan pelayanan kesehatan serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi.
Si Manis Jembatan Ancol dan sundel bolong adalah perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi hantu untuk menuntut keadilan.
Sementara, kuntilanak dan sundel bolong gagal mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Mereka meninggal bersama dengan bayi mereka saat persalinan.
Berdasarkan data yang dikutip dari Kementerian Kesehatan, angka kematian pada ibu melahirkan di Indonesia pada tahun 2015, sebagaimana yang menimpa kuntilanak dan sundel bolong, adalah 305 orang per 100 ribu kelahiran hidup. Ini di atas angka rata-rata kematian ibu di wilayah Asia-Pasifik (127 pada 2015). Angka rata-rata kematian ibu di Indonesia jauh di atas negara maju yang angka rata-ratanya hanya 12 per 100.000 kelahiran hidup.
Dua penyebab utama kematian menurut kementerian pada 2013 adalah perdarahan dan hipertensi, hal yang bisa dihindari kalau saja sang ibu mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Sementara data kasus kekerasan seksual yang menimpa sundel bolong dan Si Manis Jembatan Ancol bisa membuat bulu kuduk berdiri. Satu dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya. Data ini dikutip dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sampel 9.000 perempuan dari seluruh Indonesia.
Angka tingkat pemerkosaan di Indonesia selama tahun 2015 mencapai 1.739 kasus berdasarkan data BPS. Bandingkan dengan total angka pencurian dengan senjata tajam dan api pada tahun yang sama adalah 1.097; masih lebih rendah dibanding perkosaan.
Meski demikian, nasib tokoh Ibu dalam film Pengabdi Setan apabila terjadi pada masa kini akan lebih baik ketimbang dari tahun 1981, latar tahun dalam film itu. Di tahun 2017 telah ada BPJS Kesehatan sehingga minimal seseorang tidak akan bertahun-tahun terbujur tanpa diagnosis yang memadai.
Jangan ada sundel bolong lainnya
Menyandingkan cerita hantu dari tradisi lokal dengan data masa kini adalah sekadar upaya saya menggunakan cerita tradisional dan budaya populer untuk mengangkat isu penting ini.
Riwayat kuntilanak, sundel bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol itu menunjukkan betapa eratnya kekerasan pada perempuan dari kisah yang diceritakan turun temurun—bahkan sampai dijadikan materi utama budaya pop—dengan kenyataan yang masih menimpa perempuan Indonesia hingga hari ini.
Mungkin, kita tak akan pernah punya kisah kuntilanak menghantui ibu muda serta bayinya apabila lebih banyak perempuan Indonesia melahirkan anak dengan selamat.
Kisah Si Manis kabarnya diangkat dari kisah nyata di zaman penjajahan Belanda tapi bahkan di abad 21 pun, jalanan Jakarta belum sepenuhnya aman.
Kehamilan yang tak dikehendaki akibat perkosaan yang menimpa sundel bolong bisa dihindari apabila ia mendapat layanan reproduksi yang semestinya. Pada 2014 Indonesia sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan yang melegalkan pengguguran kandungan khusus untuk kehamilan akibat pemerkosaan, tetapi hingga tahun ini implementasinya mandek.
Jika pemerkosa sundel bolong diberi hukuman yang berat, mungkin ia tak perlu sendirian memburu jahanam-jahanam tersebut dari alam baka. Di Indonesia banyak pelaku kekerasan menikmati kekebalan hukum karena kebanyakan (93%) kekerasan seksual tidak dilaporkan. Sebuah survey maskulinitas yang dilakukan Rifka Annisa pada 2013 mengungkap hanya 21,5% dari responden yang mengaku pernah melakukan kekerasan seksual yang mendapatkan konsekuensi hukum.
Minim layanan publik, kekerasan: hantu yang sebenarnya
Kisah para hantu perempuan warisan leluhur ini seolah menjadi peringatan dari generasi-generasi pendahulu kita mengenai nasib perempuan Indonesia. Angka-angka dan data itu patut dinobatkan sebagai hantu dan momok bagi perempuan Indonesia masa kini.
Apalagi bila setelah menengok data-data tersebut kemudian tidak ada pembenahan menyeluruh dan sistematis dari para aktor pembangunan, maka selamanya perempuan Indonesia bernasib seperti sundel bolong, kuntilanak, dan Si Manis Jembatan Ancol.
"Jika kita tidak memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi perempuan dan membiarkan pelaku kekerasan seksual bebas tanpa hukuman atas kejahatannya, kita akan melanggengkan kisah hantu perempuan pada generasi selanjutnya. Tak hanya di gambar bergerak, tapi juga di dunia nyata.
Penulis: Gita Putri Damayana, Researcher at PSHK and lecturer at Jentera Law School, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.