Pada bulan November 1965, pasukan Angkatan Darat (AD) TNI memperingatkan seorang warga Belanda di perusahaan minyak di Sumatra bahwa juru masak pribadinya akan ditangkap karena dicurigai sebagai komunis.
Orang Belanda itu menyatakan pendapatnya.
"Tidak boleh - sampai setelah makan siang," katanya.
"Saya ada acara pesta besar yang sudah direncakanan," tambah pria yang tak disebutkan namanya tersebut.
Pasukan AD tersebut mematuhi permintaan si Belanda tadi dan juru masak itu pun baru ditangkap setelah selesai melaksanakan tugasnya di dapur.
Kisah ini menjadi gambaran ringkas yang cukup bagus tentang bagaimana sikap negara-negara Barat melihat apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966.
Mereka melihatnya bukan masalah besar. Masalahnya agak membingungkan, namun partai komunis setempat mendapatkan balasannya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan di kalangan jenderal Indonesia yang berkuasa saat itu.
Ini merupakan hari-hari paling gelap di Indonesia, dan apa yang terjadi saat itu menodai bangsa ini sampai setengah abad.
Bayang-bayang peristiwa tahun 1965 masih terdengar di jalanan Jakarta hingga hari ini. Histeria anti-komunis dan anti-China yang muncul secara berkala, seperti saat demonstrasi tahun lalu menentang Gubernur Ahok yang kebetulan Kristen dan China.
Diperkirakan setengah juta orang terbunuh dalam beberapa bulan setelah kejadian pembunuhan para jenderal AD.
Juru masak yang bekerja bagi pegawai perusahaan minyak Belanda tersebut hampir pasti telah dibunuh - sama seperti orang lainnya yang ditangkap karena dituduh komunis.
Surat diplomatik ini merupakan bagian dari 30.000 halaman dokumen yang semakin memperjelas bahwa kedutaan besar negara-negara Barat di Jakarta saat itu mengetahui semua tentang pembantaian anti-komunis tahun 1965 dan 1966—pembunuhan berdarah dingin yang tidak pernah diakui pihak berwenang Indonesia.
Laporan tentang terjadinya eksekusi secara meluas tiba di kantor kedutaan AS dari seluruh wilayah Indonesia, termasuk: