Saya mengamati pemandangan yang membentang. Lantai tanah sebagian tertutupi oleh pasir yang bercampur menjadi tutupan daratan berwarna merah kekuningan. Kiri-kanan tempat ini dikelilingi oleh bukit. Tak ada tanaman keras yang berdiri di atasnya. Kebanyakan semak dan belukar.
Dalam penjelajahan bersama rombongan besar tim eksplorasi Pertamina Hulu Energi ini saya menginjakkan kaki di Sitirejo. Di sini menjadi salah satu tempat latihan pengamatan bumi bagi ahli geologi dan geofisika dalam anak perusahaan PT Pertamina (persero) di bidang industri hulu migas itu. Mereka menggelar kegiatan lapangan bertajuk "Unravel Petroleum System of Rembang Zone" yang berlangsung pada 23 – 26 Oktober, di wilayah Cepu, Blora, dan sekitarnya.
Belalai logam besi ekskavator bagaikan tangan yang tak pernah lelah mengeruk galian pasir, yang menggerakkan ekonomi warga setempat. Ekonomi berjalan, tetapi dampak lingkungan semestinya juga dipikirkan oleh pihak terkait.
Buat ahli ilmu bumi, Sitirejo yang kaya pasir bernilai ekonomi tinggi itu juga menjadi tempat main yang menyenangkan. Mereka bisa menguji kemampuan dan observasi dalam membaca tanda alam, sekaligus menelisik perut bumi dengan alat bantu.
Saya tak membayangkan kalau terjadi bencana lingkungan akibat kegiatan penambangan masif. Kita kerapkali serakah ingin menguasai bumi, tanpa ingin menelisik lebih dalam terlebih dahulu.
Lamunan saya terpecah saat mendengarkan obrolan Ari Samodra, VP Exploration Subsurface, Planning and Evaluation Pertamina Hulu Energi dan Florencius Valentino, mahasiswa geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Keduanya berdiskusi soal cara penggunaan magnetikmeter. Florencius dengan bersemangat menjelaskan pemakaian alat ini kepada sejumlah peserta.
Panitia kegiatan memang sengaja mengundang pengajar dan tim mahasiswa geologi dan geofisika UGM sebagai narasumber dalam hal pemakaian alat geofisika. Tujuannya, mereka bisa menyegarkan kembali bagaimana pemakaian alat terbaru secara akademis.
Dalam kesempatan itu, saya memanfaatkan waktu untuk melakukan obrolan ringan dengan Imam Suyanto, yang tercatat sebagai salah satu pengajar geofisika di UGM tentang geosains di Indonesia.
Mengapa Anda tertarik dengan geofisika?
Memilih geofisika lebih karena melihat pada waktu itu belum banyak dikenal. Dan pada waktu itu kami masih di bawah (fakultas-red) IPA, bukan di bawah teknik. Jadi lebih ke arah science-nya. Sehingga kita melihat apakah dengan metode-metode fisika, pada waktu itu kita juga bisa mempelajari metode kebumiannya.
Apa implikasi memahami atau mendalami "geoscience"? (Jika bukan mahasiswa geologi atau geofisika)
Kalo sekarang ini kan, seperti di indonesia kan, merupakan negara yang banyak fenomena geoscience-nya ya. Seperti gempa bumi, kalo ke arah bencananya lho ya. Ada gempa bumi, gunung api, longsor. Itu kadang adalah hal-hal yang membutuhkan geoscience. Untuk itu membutuhkan geoscience, termasuk geofisika di dalamnya. Tetapi di luar kebencanaan, masalah-masalah lainnya yang berkaitan dengan anugerah di Indonesia, misalnya kekayaan alam. Itu membutuhkan orang-orang geoscience.
Dari kacamata geoscientist, bagaimana Anda melihat Indonesia? Mungkin dibandingkan dengan negara lain?
Kalau orang sastra bilang, negara kita itu, Indonesia itu surga yang jatuh ke bumi. Tapi kalau orang geoscience melihat Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam. Tetapi di luar itu juga kaya akan bencana. Jadi di satu sisi positif, dan negatif, itu mesti ada. Di satu sisi kita akan memanfaatkan sumber daya alam, dengan sebaik-baiknya, untuk kepentingan rakyat tentunya. Tapi di sisi lain mewaspadai keadaan bencana alam, untuk meminimalkan risiko.
Itu kalau bicara Indonesia keseluruhan. Kalau lokasi kegiatan lapangan ini, Cepu, bagaimana menurut Anda? Apa yang membuat Cepu spesial?
Ini perminyakan. Tetapi saya sendiri memiliki pikiran ke arah gunung api karena riset saya kebanyakan gunung api juga.
Apa kendala menjelajah Indonesia?
Kendala bagi peneliti seperti saya di perguruan tinggi, masalah biaya bisa menjadi kendala ya. Karena saking luasnya Indonesia. Jadi mungkin bukan masalah biaya ya, tapi luasnya. Luas area indonesia yang membentang dan dihubungkan antarpulau, antarlaut. Berbeda dgn Eropa yang darat semua, mungkin lebih mudah dicapai.
Anda juga tercatat sebagai anggota Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) yang diketuai oleh Ibu Rusalida Ragunwati (Senior Manager Exploration Asset Management Non Operator Pertamina Hulu Energi). Saya sempat diskusi dengan Bu Rusalida bahwa ada keinginan lulusan geoscience lebih banyak lagi. Apakah Anda punya kekhawatiran kekurangan ahli geosains di indonesia?
Enggak. Tapi, memang saat ini msh kurang. Dengan semakin banyaknya universitas-universitas yang membuka jurusan geoscience, saya kira akan menambah kepercayaan orang untuk hidup sebagai geoscientist. Karena cukup banyak bidang-bidang yang harusnya diduduki orang-orang (dengan latar belakang pendidikan) geoscience, malah bukan orang geoscience. Misalnya, kepala dinas pertambangan suatu kabupaten. Kadang-kadang orang ekonomi, mungkin ke arah keekonomiannya.
Setelah bincang santai dengan saya, Imam dan tim mahasiswanya berpamitan untuk kembali ke Yogyakarta. Saya pun kian bersemangat mengetahui sisi ilmu bumi dengan cara yang lebih populer dan aplikatif.