Siapakah yang Lebih Tahan Hoax? Generasi X, Y atau Z?

By , Kamis, 2 November 2017 | 15:00 WIB
()

Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Begitu pula dunia teknologi dan media. (Thinkstock)

Tirto yang dilakukan pada 1.201 responden Generasi Z di Jawa dan Bali tahun 2017, Generasi Z cenderung berpikiran terbuka, asyik dengan teknologi, dan menghendaki perubahan sosial. Narasi kampanye bisa berpijak pada ketiga temuan tersebut.

Pertama, partai atau tokoh politik bisa menggunakan narasi yang kuat, unik, serta mengandung berbagai topik yang perlu selalu didengungkan seperti kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, penghargaan terhadap perbedaan, dan perlindungan hak asasi.

Baca juga: Uang, motivasi di balik berita bohong tentang vaksin dan autisme

Kedua, kanal kampanye haruslah melibatkan teknologi canggih. Ketiga, jangan lagi bicara hal-hal klise atau abstrak. Generasi Z yang pragmatis ini ingin melihat perubahan sosial, bukan sekadar jargon. Tokoh yang di-endorse dalam kampanye politik juga perlu diperhatikan. Mereka harus mewakili keinginan Generasi Z yang haus akan keunikan dan ciri khas. Semakin “beda”, semakin baik.

Tentu saja, terlalu gegabah bila “lanskap politik” diterjemahkan sekadar sebagai pilihan saat coblosan. Generasi Z bukan sekadar pasar. Perlu dilakukan berbagai studi dan kajian yang mampu melihat secara mendalam preferensi politik mereka, lengkap dengan berbagai faktor seperti pengalaman sejarah dan konsumsi budaya populer.

()
Berbagai kajian ini nantinya bisa memberikan masukan mengenai format pendidikan politik dan literasi media demi menghasilkan generasi penerus yang lebih cerdas dan tidak mudah terpapar isu kebencian serta berita bohong. Tulisan ini sekadar mengawali percakapan ke arah sana.

Andina Dwifatma, Lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University of Indonesia

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.