"Sumpah Laut", Bentuk Kearifan Lokal yang Masih Bertahan di Bumi Nusantara

By , Jumat, 3 November 2017 | 11:00 WIB

Baca juga: Makassar dan Tradisi Sedekah Laut

Kita perlu belajar pada penekun tradisi, orang-orang yang masih tetap yakin, seperti nelayan-nelayan di desa Muncar, Banyuwangi. Sebuah wilayah di ujung paling timur Pulau Jawa yang mensakralkan laut dengan ritual Petik Laut-nya.

Masyarakat pesisir, yang menetap di tepi pantai, memiliki cara unik memaknai religi, bahasa, seni, cara mencari nafkah, membentuk organisasi pun memahami kearifan pengetahuan lokal mereka.

Secara turun temurun Ritual Petik Laut adalah proyeksi rasa syukur masyarakat majemuk pesisir Banyuwangi kepada Tuhan Yang Maha Esa di jalan kebudayaan.

Petik Laut memberi metafora dengan makna aktivitas-aktivitas memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil dari laut, berupa ikan yang mampu menghidupi nelayan.

Ritual sejenis di sebagian wilayah di Pulau Jawa lain, di Jawa Timur bagian utara, di Lamongan kita akan bertemu tradisi Tutup Layang. Sedangkan di Pulau Madura, masyarakatnya mengenal ritual yang disebut Rokatan.

Perahu-perahu nelayan dihias untuk memeriahkan acara petik laut atau rokat tasek di Sumenep. (Indira Permanasari/ Kompas)

Setiap bulan Muharram atau di malam Syuro dalam penanggalan Jawa, para nelayan menggelar ritual ini. Dengan puncaknya ribuan orang melarung objek-objek yang dianggap sesaji ke lautan lepas.

Mereka menggelar saat bulan penuh atau purnama, sebuah momen yang dipercaya para nelayan berpantang melaut. Jika dilanggar, akan terjadi bala atau musibah.

Atau kita beranjangsana ke wilayah lain. Bertamu ke masyarakat suku Banjar, yang menjadikan sungai sebagai tapal batas antara jiwa dan badan: lautan dan daratan.

Sungai-sungai membentuk karakter khas bagi suku-suku bangsa yang berdiam, hidup dan bergelut dengan energi kodratinya. Sungai menjadi rumah bagi jiwa, yang kelak menuju semuanya ke lautan lepas.

Karakter ini meresap pada lanskap hidup suku Banjar, sebagai realitas segala sumber bagi kehidupan. Ekspresi budaya berupa mitologi dan cara mencari nafkah memberi keterikatan sekaligus kebebasan, keakraban, serta penyatuan diri.

Suku Banjar di Kalimantan Selatan memeluk sungai tidak hanya untuk mempertahankan hidup dan tempat bermukim. Lebih dari itu, sungai dipandang tempat bersemayamnya para pendahulu, tempat tinggal makhluk berkekuatan supranatural.