Jejak Bajo di Selatan Taka Bonerate

By , Jumat, 28 Oktober 2016 | 22:30 WIB

“Ya, sekitar (tahun) 70an lah. Pokoknya, umur saya baru delapan tahun,” timpal Safei, yang coba mengingat memori masa kecilnya yang berkaitan dengan Bungin Belle.

Bungin Belle, salah satu bungin atau gusung yang ada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Gusung ini menjadi tempat bermukim sementara bagi nelayan Bajo asal Pulau Pasitallu Timur, di kawasan taman nasional saat musim melaut. (Asri)

Kehidupan laut memang tak lagi asing bagi Safei, sebagai penerus keturunan Bajo. Sedari kecil, ia tinggal di lingkungan perairan. Ia dan komunitas Bajo hidup dengan memanfaatkan potensi dari isi perairan dangkal dan dalam.

Bungin Belle termasuk tempat yang penting buat nelayan Bajo yang tinggal di Pasitallu Timur. Tempat ini tak bisa disebut sebagai pulau. Pasir putih yang memadat ini terhampar lantaran alam yang membentuknya. Saat musim angin timur, bungin atau gusung itu muncul. Agar memudahkan gerak selama mencari ikan, nelayan membangun pondok kayu sementara yang menjadi hunian singgah.

“Rumah-rumah itu biasanya hancur waktu angin barat. Tapi, kalau sudah (musim) teduh, rumah itu mereka perbaiki kembali,” kata Asri. Selama musim barat, hamparan pasir putih itu tak terlihat dan air laut merendam tonggak kayu yang menopang pondok yang ditinggalkan penghuninya.

Bungin Belle, salah satu bungin yang menjadi tempat singgah nelayan Bajo dari Pulau Pasitallu Timur di wilayah Taman Nasional Taka Bonarate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Sanovra Jr/Tribun Timur)

Ketika musim angin timur, muncul puluhan hamparan pasir putih tanpa pohon yang disebut bungin atau gusung. Biasanya bungin digunakan nelayan untuk membangun rumah singgah guna mempercepat gerak mereka di laut. Rumah itu bertahan hingga dua bulan dan kembali tersapu gelombang bersama bungin ketika angin barat bertiup.

Kami senang mendengarkan cerita lama tentang kehidupan Bajo yang ada di bagian selatan taman nasional. Kegiatan ini termasuk dalam agenda acara Kemah Konservasi yang dihelat oleh balai taman nasional pada 24 – 26 Oktober. Pihak balai meluluskan permintaan warga Pasitallu Timur yang ingin menjadi tuan rumah kegiatan.

“Sebulan sebelumnya, kami melakukan persiapan dan koordinasi di Benteng (ibu kota Kabupaten Kepuluan Selayar,” ujar Asri. Dari situ, setelah panitia terbentuk, mereka segera mengatur acara bersama masyarakat, termasuk menyiapkan kisah leluhur dan atraksi budaya yang bakal menyambut tetamu.

Kehidupan nelayan di Pulau Latondu, Taman Nasional Taka Bonerate, yang termasuk wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Sama halnya dengan kebiasaan Orang Bajo di tempat lain, kisah asal mula leluhur itu hanya disebutkan secara lisan. Sulit sekali mendapatkan bukti tertulis yang bisa menjadi rujukan tentang kehidupan awal Bajo. Itu sebabnya, panitia kegiatan mencoba menuliskan kembali dengan mendengarkan cerita dari Safei dan Haji Abdul Rahman, tetua adat yang usianya sudah mencapai 90 tahun.

“Dulu di bunging ini ada pohon cemara. Di situ, burung tidur di pohon itu,” kata Safei yang mengaku bersekolah hanya sampai kelas 5 sekolah dasar. Keterangan tadi diangguki oleh Abdul Rahman, anak Haji Abdul Rahman yang menjadi keturunan keenam dari Mbo Pote, leluhur Pasitallu Timur—generasi pertama Bajo yang mendiami Pulau Raja, nama awal Pasitallu Timur. Abdul sedari tadi duduk bersila di sisi Safei yang asyik bercerita kepada kami.

Bunging itu artinya pasir putih dalam bahasa Bajo. Kalo Belle adalah bahasa bajo buat burung yang ada di pohon cemara itu,” ujar Safei. Penamaan gusung yang kami injak ini memang tak terlepas dari kisah leluhur yang membangun komunitas di Pasitallu Timur. Generasi pertama mereka mendapati bungin selepas perjalanan dari Pulau Tambuna, yang berada di sebelah timur.

Dalam perjalanan laut itu, “mereka sampai di sebuah taka yang besar dan panjang. Di ujungnya, ada pohon cemara, yang bahasa Bajonya, pohon Auu. Di pohon itu banyak sekali  burung hitam yang hinggap dan dijadikan sebagai rumahnya,” cerita Abdul Rahman, mengutip pesan leluhurnya. Setelah memperhatikan timbunan pasir putih itu, mereka bersepakat menamakannya, Bungin Belle. Di antara mereka pun ingin memanfaatkan tempat ini sebagai rumah singgah saat mencari nafkah di laut. Dari situ, mereka berlayar kembali dan menetap di pulau tiga, salah satunya Pulau Raja atau Pasitallu Timur.

Atraksi budaya yang ditunjukkan oleh penduduk Desa Khusus Pasitallu yang berdiam di Pulau Pasitallu Timur. Selain wisata bahari, pengelola Taman Nasional Taka Bonerate juga mendorong pengembangan wisata budaya yang digelar di setiap pulau di wilayah lindung perairan itu. Masyarakat di dalam kawasan yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar itu menjadi tuan rumah dalam industri pariwisata yang kini semakin bergerak maju. (Sanovra Jr/Tribun Timur)

Dongeng leluhur sepenggal komunitas Bajo tentu membuat kami betah berbincang. Panas mentari yang membakar tubuh tak kami hiraukan. Saat itu, suhu bungin mencapai 45 derajat. Kami tiba memang saat matahari nyaris di atas kepala. Maklum, setelah melalukan acara penanaman pohon cemara laut di Pasitallu Tengah, kapal kami langsung tancap gas ke tempat ini.

Sayangnya, jelang merapat ke bungin, kapal harus memutar mencari jalur masuk yang aman. Laju betul-betul dikurangi lantaran air laut berada dalam kondisi surut. Kumpulan terumbu yang beralaskan pasir putih terlihat jelas dari atas kapal. Buat kami pemandangan cantik ini membuat dopamin penjelajahan menyeruak. Tapi, melihat kondisi air laut surut, kapten kapal harus ekstra waspada. Salah ambil jalur kapal, tetamu yang dibawanya tak sampai tujuan dan terdampar di tempat singgah. Sebab, kapal kandas tersangkut terumbu.

Sanovra yang membawa drone segera menerbangkannya saat kami memutuskan menyudahi cerita leluhur itu. Ia mendokumentasikan bungin dari udara. Asri tak mau kalah. Ia memotret sekililing pulau dan merangkap juru foto buat peserta kegiatan yang ingin mengisi linimasa akun Instagramnya.

Sembari menunggu giliran kembali ke kapal, Nurwahidah Saleh, peliput asal Tribun Timur, menghibur kami dengan pembacaan puisi yang berbalut aksi teatrikalnya. Untungnya, pondok-pondok singgah itu sama sekali tak terisi. Dengan begitu, canda dan tawa kami atas aksi Nurwahidah tak mengganggu sekeliling. Panas yang membakar lagi-lagi terlupakan di atas hamparan pasir putih selembut tepung. “Oh, Tetta!” tutup Nurwahidah di pengujung aksinya.