Kecanduan Ponsel Canggih? Mungkin Ini Penjelasannya

By , Selasa, 7 November 2017 | 18:00 WIB

2. Mengingatkan hubungan penuh kasih sayang

Tidak hanya menjadi perluasan diri, ponsel canggih (smartphone), dengan permainan, aplikasi dan notifikasi, telah menjadi aspek sangat penting dari nalar kita mengenai diri.

Begini cara ponsel melakukannya:

Menilik teori psikodinamika, yang berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak membentuk kepribadian, saya berpendapat bahwa hubungan kita dengan teknologi mirip dengan lingkungan yang orang tua kita ciptakan ketika merawat kita. Lingkungan ini, tulis psikiater Inggris Donald W. Winnicot, bekerja di seputar sentuhan, kesadaran yang tajam mengenai kebutuhan bayi, serta membangun dan memelihara kontak mata.

Dengan cara yang sama, kita sebagai orang dewasa, mengalami kembali sentuhan dan rasa memiliki melalui telepon genggam kita. Teknologi memberikan sebuah ruang di mana diri bisa dipuaskan, bermain, dan merasa hidup—ruang yang sebelumnya diberikan oleh pengasuh.

(Baca juga: Dampak Penggunaan Smartphone Saat Tidur)

Saat kita menggenggam telepon, hal itu mengingatkan kita akan momen intim—entah dari masa kanak-kanak atau kehidupan dewasa kita. Zat kimiawi otak dopamin dan hormon cinta oksitosin, yang berperan dalam menciptakan rasa “mabuk” candu, menyerbu. Zat-zat kimiawi ini juga menciptakan rasa memiliki dan keterikatan.

Ilustrasi remaja dan smartphone. (Thinkstock)

Menggenggam telepon memiliki efek yang sama seperti ketika orangtua memandang anaknya dengan penuh cinta atau ketika sepasang kekasih saling bertatapan. Dalam ucapan eksekutif Apple Philip Schiller: iPhone X “mempelajari siapa Anda”.

Refleksi teologis juga mendukung apa yang kita pelajari tentang dopamin dan oksitosin. Tradisi Yudeo-Kristen, misalnya, mengidentifikasi Tuhan sebagai Tuhan yang intim yang mencari tatap muka dan menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang. Di dalam Injil, pasal 6:24-26, kita membaca:

“Tuhan memberkati dan melindungimu. Tuhan membuat wajahnya bersinar di atasmu dan mengasihimu. Tuhan mengangkat wajahnya dan memberimu kedamaian.”

3. Memenuhi kebutuhan untuk memproduksi dan mereproduksi

Antropolog Michael Taussig mengingatkan kita bahwa dalam diri kita ada “sifat alamiah untuk menyalin, meniru, membuat model [dan] mengeksplorasi perbedaan” ketika kita mencoba menjadi diri yang lebih baik atau berbeda.

Telepon membantu kita melakukan itu semua. Kita memotret, memanipulasi gambar, bergabung dalam diskusi, memilih selfie untuk dipamerkan, dan menjangkau orang lain. Dengan mengirim pesan bolak balik, kita bersama-sama menjalin percakapan. Melalui pencarian, kita jadi berpengetahuan luas (sekali pun kurang bijaksana). Dengan demikian, kita bergabung dengan nenek moyang kita yang melukis pada dinding gua dan bercerita di sekeliling api unggun.

Dengan telepon genggam dalam hidup kita, tubuh kita merasakan getaran atau mendengar deringan meski tak ada notifikasi atau panggilan telepon, sebuah pertanda yang para peneliti hubungkan dengan ketergantungan kita yang semakin besar pada telepon.