'Panggilan Jiwa' Pada Guru Bisa Memperbaiki Kualitas Pembelajaran

By , Sabtu, 25 November 2017 | 10:00 WIB
()

Setelah beberapa dasawarsa, 89% anak-anak Indonesia bersekolah. Tapi dari angka tersebut, hanya sedikit yang benar-benar belajar. Dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) pada 2016, hanya 1% siswa Indonesia yang memiliki kemampuan baik dalam bidang sains. Ranking Indonesia pada PISA juga masih bertahan di tingkat 10 terbawah.

Maka, sejalan dengan tren global baru-baru ini dalam bidang pendidikan, Indonesia harus meningkatkan pembelajaran sebagai tujuan pendidikan, selain meningkatkan angka partisipasi sekolah. Bagaimana caranya?

Penelitian di Amerika Latin dan Karibia menunjukkan bahwa guru adalah kunci untuk memperbaiki pembelajaran. Pengetahuan, tindakan, dan perhatian guru menyumbang 30% kesuksesan pembelajaran siswa. Terkait guru, wawancara kami dengan pembuat kebijakan pendidikan di tingkat nasional menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah mengalokasikan 52% dari anggaran pendidikan 2017 untuk para guru.

Meski demikian, besarnya porsi anggaran untuk guru belum diikuti oleh perbaikan kinerja mereka. Demikian pula mutu pembelajaran siswa. Apa yang salah?

Kami telah melakukan studi diagnosis, yang merupakan bagian awal dari Research on Improving Systems of Education (RISE). Kami menganalisis sejumlah dokumen kebijakan pendidikan dan mewawancarai pemangku kepentingan bidang pendidikan, seperti pembuat kebijakan, pakar, dan guru. Kami mendapati bahwa “panggilan jiwa” adalah karakteristik yang diyakini harus dimiliki para guru di Indonesia. Kualitas ini secara umum dianggap dapat membantu memperbaiki kualitas pengajaran dan meningkatkan pembelajaran.

(Baca juga: Para Guru Mengatakan Bahwa Teknologi Adalah Investasi Terpenting untuk Sekolah)

Kami mempelajari konsep “panggilan jiwa” untuk menggali apakah benar ada hubungan antara panggilan jiwa dengan mutu pengajaran, dan apakah pemerintah Indonesia memiliki panduan yang jelas dalam mengukur panggilan jiwa.

Panggilan jiwa guru dan kaitannya dengan pembelajaran siswa

Suatu penelitian tentang mutu guru mengungkapkan bahwa “passion” (panggilan jiwa) merupakan pembeda antara guru yang sangat bagus atau guru ahli dengan yang medioker atau biasa-biasa saja. Guru ahli akan memberi perhatian lebih terhadap cara siswa mendapatkan pengetahuan dan cara mereka berinteraksi dengan para siswa. Perasaan dan emosi para guru ahli terkait erat dengan rasa tanggung jawab untuk mencapai keberhasilan dalam tugasnya. “Panggilan jiwa” ini diwujudkan dalam kecintaan mereka pada pengetahuan (yang lalu diajarkan kepada murid) atau pada keinginan untuk menggali potensi murid.

Dalam tataran konsep, makna panggilan jiwa dalam konteks Indonesia sama dengan konsep yang diajukan para cendekiawan bidang pendidikan. Menurut narasumber kami (pembuat kebijakan, pakar, dan kepala sekolah) panggilan jiwa adalah dorongan dari dalam diri guru untuk terus mengembangkan kemampuan dan metode pengajaran. Perbaikan kemampuan mengajar yang terus menerus, menurut Patrick, Hisley, dan Kempler, bukan hanya bermanfaat bagi guru tapi juga bagi murid.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, panggilan jiwa dapat berdampak negatif pada guru, seperti kejenuhan. Selain itu, meski beberapa studi telah berupaya mencari kaitan antara panggilan jiwa guru dan pembelajaran murid, penelitian empiris tentang panggilan jiwa guru masih sedikit dan para cendekiawan sendiri belum bersepakat mengenai “teori panggilan jiwa”.

Jika panggilan jiwa adalah kunci bagi pengajaran yang bermutu, tapi tidak ada teori yang mapan tentang panggilan jiwa, maka bagaimana kita bisa mengidentifikasi dan mengukur panggilan jiwa pada guru?

Bagaimana mengidentifikasi panggilan jiwa

Sebagian orang melihat “passion” tercermin pada antusiasme guru dalam mengajar. Pandangan lain mengartikannya sebagai komitmen pada profesi dan dedikasi untuk pembelajaran murid. Di Indonesia, “passion” didefinisikan sebagai panggilan jiwa sebagaimana tercantum Undang-Undang Guru dan Dosen.

Sejalan dengan meningkatnya ketertarikan pencari kerja pada profesi guru, bagaimana pemerintah Indonesia memastikan bahwa guru-guru baru memiliki panggilan jiwa seperti disyaratkan dalam Undang-Undang Guru?