'Panggilan Jiwa' Pada Guru Bisa Memperbaiki Kualitas Pembelajaran

By , Sabtu, 25 November 2017 | 10:00 WIB
()

Sayangnya, kami menemukan bahwa pemerintah belum memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana panggilan jiwa diidentifikasi atau diukur selama pendidikan keguruan, proses rekrutmen, atau dalam kegiatan pengembangan profesi guru di Indonesia.

Panggilan jiwa: dibina atau bawaan?

Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ketertarikan pada profesi guru meningkat sejak gaji guru—paling tidak yang berstatus pegawai negeri—naik. Dengan demikian, motivasi calon mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mungkin saja tidak murni karena keinginan untuk menjadi guru, atau karena adanya panggilan jiwa, tapi karena gaji guru yang relatif menggiurkan.

Para narasumber kami menyebutkan bahwa ketiadaan panggilan jiwa pada guru, mungkin akan merugikan pembelajaran siswa. Guru semacam itu akan sekadar mengikuti arahan sekolah atau pemerintah tanpa peduli dengan kebutuhan siswa yang sebenarnya.

Maka, penting bagi LPTK dan lembaga terkait lainnya untuk membangun sebuah sistem yang mampu mengidentifikasi para calon guru yang memiliki panggilan jiwa dari deretan pendaftar. Kemudian, panggilan jiwa tersebut terus dipupuk sejalan dengan karier mereka.

(Baca juga: Potret Pendidikan di Teulaga Tujuh)

Mengutip seorang cendekiawan pendidikan, John Hattie, pemerintah harus “berfokus untuk … mengidentifikasi, menghargai, dan mendorong guru-guru yang luar biasa, di mana pun mereka berada”. Meningkatkan ketertarikan pada profesi guru serta memastikan calon guru sungguh-sungguh memiliki panggilan jiwa sama pentingnya dengan memupuk dan memelihara panggilan jiwa pada guru. Maka upaya-upaya tersebut harus koheren dan berkesinambungan.

Yang menarik, salah satu narasumber kami, seorang kepala sekolah, beranggapan bahwa sistem pendidikan keguruan yang lama, Sekolah Pendidikan Guru (SPG), mencetak guru-guru yang lebih baik dibanding sistem yang sekarang berjalan. Menurut dia, dibandingkan sistem pendidikan guru saat ini, yang mensyaratkan perkuliahan selama empat tahun, SPG memberikan lebih banyak pengalaman mengajar di kelas. Selama periode tersebut, antusiasme para calon guru dipupuk oleh para mentor.

Banyak sumber yang mendukung gagasan bahwa panggilan jiwa penting dalam memperbaiki mutu guru. Tapi, penting untuk dicatat bahwa kami tidak menganggap panggilan jiwa sebagai obat bagi segala permasalahan dalam memperbaiki mutu guru. Guru yang memiliki panggilan jiwa tetap membutuhkan sistem yang mendukung, seperti insentif yang layak, persiapan yang cukup dalam menghadapi tuntutan profesi yang tinggi, akses pada jaringan guru dan pengembangan profesi, dan juga rekan sejawat dan para mentor yang juga memiliki panggilan jiwa.

Tersedianya sistem pendukung tidak hanya akan menarik calon-calon guru terbaik yang memiliki panggilan jiwa, tapi juga akan meningkatkan kualitas para guru. Pada akhirnya, sistem pendukung ini tak hanya bermanfaat bagi para guru, tapi juga bagi kemajuan pembelajaran para siswa.

Heni Kurniasih, Research Associate, SMERU Research Institute and Mirza Annisa Izati, Junior Researcher, SMERU Research Institute

This article was originally published on The Conversation. Read the original article.