Jangan terjebak dengan nama gua ini. Batu Cermin, demikian nama sebuah kompleks gua dengan fosil satwa yang diyakini adalah penyu, aneka terumbu karang, dan ikan ini.
Wisata geologi ini berada di Desa Waesambi, dekat pusat kota Labuan Bajo. Sekitar 15 menit dari bandar udara Komodo di kota pelabuhan yang makin ramai di Manggarai Barat, Flores, NTT. Perjalanan dimulai dari kebun pohon bambu. Batang-batang bambu ini melengkung sepanjang jalan setapak seperti kanopi. Cukup membantu meneduhkan saat terik.
Biaya tiket masuk Rp10.000 per orang, pengunjung diminta menuliskan identitasnya di sebuah buku oleh petugas. Saat masuk mungkin belum begitu membutuhkan pemandu, namun saat tiba di gua dengan stalagtit dan stalagmit yang rapat, lebih baik menunggu pemandu yang hilir mudik memandu pengunjung menelusuri gua dengan cahaya sangat minim.
Sekitar 10 menit menelusuri kebun bambu, terlihat goa setinggi lebih dari 70 meter. Ambil jalan ke kiri menuju perjumpaan pertama dengan mulut gua yang sudah ditambah dengan tangga beton. Sosok manusia terlihat sangat mungil di ketinggian gua yang bebatuannya penuh dengan motif-motif dari ukiran air hujan yang melarutkan batuan gamping.
Tangga menuju lorong yang paling padat karena di area ini ada antrean menuju gua penuh stalagtit dan stalagmit serta sejumlah fosil satwa. Turis yang baru usai menjelajah gua beristirahat, duduk di atas bebatuan sambil mendiskusikan lokasi ini. Helm-helm oranye berderet depan gua untuk wajib pakai sebelum menyusuri goa rendah cukup satu barisan manusia ini. Karena itu harus antre karena jalur yang akan dilalui tak bisa papasan.
(Baca juga: Kehidupan Berumur 50.000 Tahun Ditemukan di Gua Kristal)
Pemandu yang baru keluar gua bisa langsung diminta mengantar. Salah satunya Roi, remaja warga desa sekitar yang juga mengelola warung kopi dekat parkiran. Roi meminta semua dalam rombongan menggunakan helm dengan baik dan memperhatikan aba-abanya. Ia membawa senter besar, sementara lainnya memfungsikan senter dari ponsel yang berkedip lemah.
Baru melangkah masuk, stalagtit sudah menonjol di sana sini dari lantai bawah. Sementara stalagmit menggantung. Batuan yang terbentuk dari kumpulan kalsit menetes runcing. Roi memberi aba-aba saat melewati bebatuan runcing ini. Posisi tubuh menunduk diperlukan selama sekitar 5 menit sampai tiba di lorong.
Sampai di sini Roi berkisah jika Gua Batu Cermin dipopulerkan oleh seorang pastor Belanda yang juga arkeolog Theodore Verhoven pada 1951. Warga sekitar sudah mengetahui goa ini namun tak percaya diri untuk mempromosikannya. “Area ini diyakini dulu berada di bawah laut karena ditemukan banyak fosil hewan laut,” kata Roi.
Ia langsung mengarahkan senter ke atap bagian gua persis di atas kepala pengunjung. Bentuknya mirip penyu dengan kerapas di bagian bawah. Diameternya lebih dari 30 cm, dengan pola kerapas masih terlihat namun tak begitu jelas di cahaya yang redup. Roi menunjukkan bagian-bagian tubuh penyu ini seperti kepala, kerapas, dan kaki belakang.
Berikutnya ia mengarahkan rombongan ke gunungan fosil yang disebutnya terumbu karang aneka bentuk. Ada yang berbentuk kelopak daun, bunga, dan lainnya. Jika cahaya lebih terang, gunungan terumbu karang ini bisa diamati lebih leluasa.
Di kiri gunungan fosil ini, ada lorong sempit seperti jalan masuk tadi. Juga dengan stalagtit dan stalagmit bergantian. “Ayo saya tunjukkan kenapa disebut batu cermin,” ajak Roi. Para pengunjung bersemangat mengikuti.
Berjalan menelusuri lorong sekitar 5 menit, kami diminta berkumpul di titik lorong yang lebih lapang. Roi berdiri di tengah-tengah celah dengan tembakan cahaya tepat di atas kepalanya. Saat itu belum tengah hari. “Usai hujan, air tergenang di bawah ini dan cahaya yang masuk dari atas membias seperti cermin,” urainya. Ia mengira-ngira di masa lalu anak muda senang bermain di sekitar “cermin” ini seolah sedang dandan.