Apa Perbedaan Katak dan Kodok?

By , Rabu, 29 November 2017 | 18:00 WIB

Anda tahu perbedaan antara katak dan kodok? Apakah keduanya merupakan jenis yang sama? Apakah suara “rekotok rekotok” yang sering terdengar di pinggir kali adalah suara kodok? Apakah katak maupun kodok memiliki manfaat bagi lingkungan?

Amir Hamidy, ahli herpetologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), punya jawabannya. Menurut Amir, penyebutan katak atau kodok sebenarnya mengikuti konsep Bahasa Inggris dan morfologinya.

Dalam penamaan Bahasa Inggris, istilah toad untuk kodok, sementara frog untuk katak, karena mempresentasikan dua suku. Kodok berasal dari Suku Bufoidae, sementara katak dari Suku Ranidae. “Dilihat dari morfologi, kebanyakan kodok lebih berbintil sedangkan kulit katak lebih halus.”

Amir melanjutkan, kenyataannya di Indonesia, banyak jenis yang bila dilihat secara morfologi tidak hanya merepresentasikan Suku Bufonidae dan Ranidae saja. “Di Jawa Barat sendiri, ada enam suku yang mewakili keduanya. Penyebutan suatu jenis pun harus sinergis dengan sistematika dan tata nama ilmu hewan,” jelas Amir yang merupakan Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI, Cibinong.

(Baca juga: Sigale Gale, Genus Katak Baru dari Sumatra)

Djoko T. Iskandar, dalam bukunya Amfibi Jawa dan Bali (1991), menjelaskan bahwa dalam Bahasa Indonesia, belum ada kesepakatan penggunaan sebutan katak atau kodok. Dijelaskannya, kodok adalah penamaan dari Bahasa Jawa. Di Jawa Barat, katak atau kodok disebut bangkong, sedangkan bancet untuk katak kecil. “Sementara di Jawa Tengah, katak kecil dipanggil percil yang berlaku untuk anakan katak atau kodok.”

Katak atau kodok, masuk Bangsa Anura yang persebarannya hampir merata di seluruh dunia. Cirinya adalah tubuh pendek dan lebar, terdiri dari kepala, badan, dan memiliki dua pasang tungkai yang tungkai belakangnya lebih besar. Kaki berselaput digunakan untuk melompat dan berenang. “Katak atau kodok memiliki pita suara, yang biasanya sang jantan akan mengeluarkan “Nyanyian” untuk menarik perhatian betina,” jelas buku tersebut.

Telur yang menetas, biasanya akan tumbuh menjadi larva yang berbeda dengan bentuk dewasanya, dikenal dengan nama berudu. Hampir semua berudu, akan mengalami metamorfosis saat menjadi dewasa, namun pada beberapa jenis ada yang langsung dewasa.

Mirza D Kusrini dalam bukunya Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat, menjelaskan di Indonesia ditemukan sekitar 450 jenis katak atau kodok yang mewakili 11 persen dari seluruh Bangsa Anura di dunia. Sekitar 28 jenis, ada di Jawa Barat, dari Suku Bufonidae, Dicroglossidae, Microhylidae, Megophyridae, Ranidae, dan Rhacophoridae.

“Bila ingin menemukan katak atau kodok, datangi habitat mereka. Kolam, genangan air, sungai dan wilayah teresterial (tumpukan serasah, di balik kayu-kayu rebah, dalam tanah) serta pohon. Kebanyakan katak atau kodok aktif malam hari, sekitar jam 7 malam hingga 4 pagi,” jelasnya.

Manfaat di alam

Katak maupun kodok memiliki peran penting bagi ekosistem alam. Mirza mengungkapkan, katak merupakan pemakan serangga atau larva serangga yang berpotensi menjadi hama maupun sumber penyakit seperti nyamuk. Berudu dan katak dewasa senang memakan jentik-jentik nyamuk atau hama tanaman.

“Penelitian pakan katak oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan membedah perut untuk melihat jenis apa saja yang dimakan, mendapatkan hasil memuaskan. Ternyata, ada kecoa dan rayap,” terang dosen dan peneliti herpetologi dari Institut Pertanian Bogor ini kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.