Puluhan anak perempuan remaja di kamp pengungsian antara sudah menikah atau sedang dicarikan pasangan oleh orangtua mereka.
Demi jatah bantuan pangan
Bantuan pangan yang diberikan pada keluarga pengungsi Rohingya sebanyak 25 kilogram beras per keluarga yang dibagikan tiap dua minggu.
Jumlah bantuan tersebut dengan perhitungan tiap keluarga terdiri dari lima orang. Kenyataannya banyak keluarga lebih besar dari itu.
Muhammad Hassen yang memiliki keluarga dengan 10 anggota termasuk tujuh anak perempuan jelas tidak mendapat pasokan pangan yang cukup.
Dia pun mengaku tak kuasa menahan untuk tidak menikahkan salah satu putrinya, Arafa, yang beri berusia 14 tahun.
(Baca juga: Indonesia Resmi Bangun Rumah Sakit di Wilayah Konflik Rakhine)
"Seandainya kami berada di Rakhine saya tidak akan terburu-buru menikahkan anak saya. Saya petani dan memiliki sawah. Saya bisa memberi makan anak-anak saya. Tapi di sini saya tidak dapat melakukannya," ujarnya.
Banyak anak perempuan Rohingya yang menikah dini di Bangladesh hampir tidak mengenal calon suaminya.
Fatima, yang dinikahkan saat berusia 12 tahun sama sekali tidak mengetahui apa itu pernikahan.
"Orangtua saya menikahkan saya karena tidak mampu memberi makan saya. Saat menikah saya hanya berpikir suami saya yang akan memberi makan saya dan tidak mengerti apa yang akan dia lakukan terhadap saya," kata dia.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Anak Perempuan Rohingya Terpaksa Menikah Demi Dapat Jatah Makanan.