Anak perempuan Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh dipaksa menikah demi mengamankan jatah makanan.
Alokasi bantuan makanan yang ditentukan per keluarga membuat anak-anak perempuan pengungsi Rohingya dinikahkan untuk menciptakan keluarga baru.
Di antara anak-anak perempuan tersebut bahkan ada yang masih berusia 12 tahun.
Program Pangan Dunia PBB mengalokasikan bantuan makanan per rumah tangga sehingga keluarga dengan jumlah anggota yang berbeda mendapat jatah bantuan makanan yang sama.
Dengan menikahkan anak perempuan mereka maka jumlah orang yang harus diberi makan di keluarga orangtua akan berkurang.
(Baca juga: Dibalik Kisah Para Pengantin Cilik Georgia)
Sementara anak yang sudah menikah akan mendapat jatah bantuan sendiri. Demikian ditulis The Guardian, Kamis (30/11/2017).
Pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh mencapai angka 600.000 jiwa.
Petugas medis mengatakan anak perempuan paling diincar sebagai sasaran kekerasan seksual di Rakhine.
Namun, saat tiba di Bangladesh, mereka kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk pernikahan dini.
Salah satu pengungsi anak perempuan di Bangladesh, Anwara yang masih berusia 14 tahun mengaku telah menikah dalam seminggu sejak tiba di kamp. Dan kini telah melahirkan seorang anak.
(Baca juga: Nyanyian Sunyi Para Pengantin Anak di Sulawesi Barat)
"Saya tidak mengerti apa yang terjadi, saya hanya merasa lemas dan tidak makan apapun. Saya tidak memberitahu siapapun apa yang saya pikirkan," kata dia.
Puluhan anak perempuan remaja di kamp pengungsian antara sudah menikah atau sedang dicarikan pasangan oleh orangtua mereka.
Demi jatah bantuan pangan
Bantuan pangan yang diberikan pada keluarga pengungsi Rohingya sebanyak 25 kilogram beras per keluarga yang dibagikan tiap dua minggu.
Jumlah bantuan tersebut dengan perhitungan tiap keluarga terdiri dari lima orang. Kenyataannya banyak keluarga lebih besar dari itu.
Muhammad Hassen yang memiliki keluarga dengan 10 anggota termasuk tujuh anak perempuan jelas tidak mendapat pasokan pangan yang cukup.
Dia pun mengaku tak kuasa menahan untuk tidak menikahkan salah satu putrinya, Arafa, yang beri berusia 14 tahun.
(Baca juga: Indonesia Resmi Bangun Rumah Sakit di Wilayah Konflik Rakhine)
"Seandainya kami berada di Rakhine saya tidak akan terburu-buru menikahkan anak saya. Saya petani dan memiliki sawah. Saya bisa memberi makan anak-anak saya. Tapi di sini saya tidak dapat melakukannya," ujarnya.
Banyak anak perempuan Rohingya yang menikah dini di Bangladesh hampir tidak mengenal calon suaminya.
Fatima, yang dinikahkan saat berusia 12 tahun sama sekali tidak mengetahui apa itu pernikahan.
"Orangtua saya menikahkan saya karena tidak mampu memberi makan saya. Saat menikah saya hanya berpikir suami saya yang akan memberi makan saya dan tidak mengerti apa yang akan dia lakukan terhadap saya," kata dia.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Anak Perempuan Rohingya Terpaksa Menikah Demi Dapat Jatah Makanan.