Dengan menceritakan kisah seekor beruang kutub, Nicklen berharap bisa menyampaikan pesan yang lebih besar tentang bagaimana iklim yang memanas memiliki konsekuensi mematikan.
Tanpa disadari, beruang kutub telah lama menjadi maskot untuk efek perubahan iklim. Sebagai hewan yang hidup hanya di wilayah Arktik, mereka sering kali menjadi yang pertama merasakan dampak pemanasan suhu dan kenaikan permukaan laut.
Beruang kutub besar berburu kawanan anjing laut di lautan yang menjadi es. Selama bulan-bulan musim panas, beruang kutub sering kali tidak makan selama berbulan-bulan selagi mereka menanti es Arktik kembali membeku.
(Baca juga: Apakah Pemanasan Global Benar-benar Nyata?)
Laporan World Wildlife Fund (WWF) pada 2002 memprediksi bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan beruang kutub terancam atau bahkan punah. Bahkan, laporan tersebut menemukan bahwa beruang kutub bergerak dari es ke tanah lebih awal dan tinggal di darat lebih lama. Hal itu secara tidak sehat memperpanjang musim puasa beruang. Di akhir musim panas, sebagian besar beruang yang diteliti oleh WWF menunjukkan tanda-tanda kelaparan.
Lima belas tahun kemudian, lahan es tempat beruang kutub berburu kian menyempit. National Show and Ice Data Center, yang melacak tutupan es setiap tahun, secara reguler mencatat penurunan tutupan es laut. Penurunan ini diperkirakan akan menjadi lebih parah dari waktu ke waktu.
(Baca juga: Kenaikan Permukaan Air Laut Melenyapkan Lima Pulau di Pasifik)
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Biosciences baru-baru ini melihat bagaimana ilmu iklim sering kali dicemooh. Studi tersebut menemukan, orang-orang yang menyangkal perubahan iklim mampu meremehkan ancaman perubahan iklim dengan mendiskreditkan ancaman yang dihadapi beruang kutub.
Meski begitu, studi yang dipublikasikan oleh European Geosciences Union tahun lalu dan U.S. Geological Survey tahun ini mengkonfirmasi pelelehan es laut terus menjadi ancaman nyata bagi beruang kutub.