Wabah difteri makin meluas sehingga meneror masyarakat dan pemerintah Indonesia. Bakteri penyebab difteri menyebar dengan cepat tidak hanya di daerah yang layanan kesehatannya dinilai buruk, tapi juga menyerang warga di ibu kota, yang dianggap memiliki sistem layanan kesehatan jauh lebih baik.
Sejak Januari hingga November 2017 tercatat 593 kasus difteri, tersebar di 95 kabupaten dan kota di 20 provinsi, dengan angka kematian 32 kasus. Data World Health Organization (WHO) tentang penyakit difteri menunjukkan jumlah kasus difteri di Indonesia naik turun sejak 1980-an.
Penyebab wabah difteri, antara lain, imunisasi anti difteri yang belum menyentuh seluruh anak di negeri ini (sekitar 75%) dan tingkat “keampuhan” antibiotik untuk melawan bakteri ini mulai ada penurunan.
Riset yang kami lakukan pada 2015 tentang pola resistensi antibiotik terhadap bakteri difteri menunjukkan kepekaan antibiotik penicillin terhadap difteri sebesar 84% dan kepekaan eritromisin sebesar 91,2%. Kepekaan antibiotik menunjukkan kemampuan daya bunuh antibiotik terhadap bakteri. Saat ini penisilin dan eritromisin adalah antibiotik pilihan untuk mengobati penyakit difteri.
Tingkat kepekaan antibiotik tersebut menurun dibanding hasil penelitian Robert C. Rockhill di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada 1982 yang menunjukkan antibiotik ampisilin, yang merupakan golongan penisilin, dan antibiotik eritromisin masih 100% sensitif terhadap difteri.
Indonesia perlu kajian lanjut dan mempertimbangkan tinjauan tata laksana pengobatan difteri.
Yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan jumlah kasus penyakit ini meningkat sejak 2007 (183 kasus) dan puncaknya pada 2012 (1.192 kasus). Setelah itu menurun tapi angkanya masih ratusan kasus.
Data Kementerian Kesehatan juga menyebutkan kasus difteri yang ditemukan sepanjang 2017 tidak terbatas usia. Difteri lebih sering menyerang anak–anak usia di bawah 12 tahun dan lebih berdampak fatal ketimbang saat menyerang orang dewasa.
Menular lewat udara
Difteri merupakan penyakit yang menular melalui udara yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini menyerang saluran napas sebelah atas dengan gejala demam tinggi, sakit tenggorokan, susah menelan, dan kesulitan bernapas.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin (racun). Toksin ini menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf serta dapat berakibat kematian. Karena itu, satu saja ditemukan kasus difteri, pemerintah harus mengumumkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Mengapa kasus difteri bertambah dan menyebar di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten? Pertanyaan ini penting dijawab untuk menjelaskan secara ilmiah dan agar bisa diambil tindakan yang tepat oleh pemerintah dan masyarakat. Penyebabnya tidak tunggal sehingga tidak tepat menyatakan bahwa penyebaran difteri hanya dipengaruhi oleh satu faktor.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 cakupan imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) untuk anak berusia 2-6 tahun di Indonesia hanya 75,6% (idealnya di atas 90%). Artinya masih ada 24,6% anak yang belum diimunisasi yang berpotensi terinfeksi difteri dan menjadi penyebab penyebaran difteri di sekitarnya.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 juga menunjukkan beberapa provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB (Hepatitis B) yang rendah adalah Papua (40,8%), Maluku (53,8%), dan Aceh (52,9%). Rendahnya cakupan imunisasi dasar lengkap ini berdampak kekhawatiran timbulnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi(PD3I).
Adapun data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan yang diterbitkan pada 2016—memuat data rutin periode 2007-2015—menunjukkan cakupan imunisasi DPT pada 2013 adalah 99,3%, lebih tinggi dari data Riset Kesehatan Dasar 2013. Seharusnya dengan cakupan yang seperti itu dan potensi vaksin yang efektif, kasus difteri jarang atau tidak ditemukan.
Perbedaan data ini disebabkan oleh perbedaan metode pengambilan data di lapangan. Tapi kenyataanya tiap tahunnya kasus tersebut selalu ada dan menimbulkan permasalahan kesehatan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Karena itu, perlu kajian tentang bagaimana potensi efektivitas vaksin DPT yang diberikan kepada anak-anak untuk menghambat penyebaran bakteri.
Perlu juga dievaluasi bagaimana pola distribusi vaksin dari pusat ke daerah (suhu penyimpanan dan pengiriman). Sekali vaksin kehilangan potensinya, tidak akan dapat diperbaiki dan vaksin tidak akan memberikan perlindungan terhadap penyakit sesuai harapan. Vaksin sangat sensitif terhadap panas, beberapa vaksin juga sensitif terhadap dingin (suhu beku).
Perlu dipertimbangkan faktor pola mobilisasi penduduk dari daerah-daerah yang terkena wabah difteri seperti dari Jawa Timur ke daerah Banten dan Jakarta Raya dan sebaliknya. Data Pusdatin menyebutkan 63% kasus difteri (dari 502 kasus di Indonesia) pada 2015 berasal dari Jawa Timur.
Imunisasi DPT adalah langkah yang tepat untuk mencegah difteri meluas. Tapi orang yang diimunisasi tidak serta merta terbebas dari serangan bakteri difteri, masih ada kemungkinan ia terinfeksi bakteri C. diphtheriae. Dampaknya walau seseorang terlindungi dan tidak sakit terhadap difteri, dia berpotensi sebagai penyebar penyakit.
Faktor non-medis dan pandangan masyarakat
Di luar faktor medis, sejumlah hal di bawah ini juga menjadi penyebab tidak langsung meningkatnya penyebaran penyakit difteri di masyarakat.
-
Banyak orang tua emoh terhadap efek yang ditimbulkan oleh imunisasi DPT terhadap anak seperti suhu badan anak menjadi panas.
-
Lingkungan padat dan jumlah anggota penghuni rumah yang banyak ikut menyebabkan pola penularan difteri lebih cepat.
-
Berita vaksin palsu yang merebak pada Juni 2016—walau telah ditangani oleh Kementerian Kesehatan dengan cara vaksinasi ulang di daerah beredarnya vaksin palsu—masih mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat terhadap fungsi vaksin.
-
Pendidikan rendah orang tua sangat mempengaruhi perilaku dan tingkat pengetahuan mereka tentang cara hidup sehat dan bersih serta manfaat pemberian imunisasi bagi anaknya.
-
Kurangnya gaya hidup sehat dan bersih yang ditanamkan di sekolah membuat banyak anak sekolah ketularan difteri di sekolah.
-
Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa vaksin itu haram walau hal tersebut telah diklarifikasi oleh pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia.
-
Adanya pandangan bahwa kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap tubuh individu. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat, sehingga tidak perlu imunisasi.
Kematian korban dan keampuhan serum anti-difteri
Pengobatan difteri membutuhkan serum anti-difteri dan antibiotik. Serum dan antibiotik diberikan bersamaan karena serum tidak dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri penyebab. Begitu juga sebaliknya, antibiotik tidak dapat menggantikan peran serum untuk menetralisasi toksin difteri. Dalam hal ini, serum memiliki keterbatasan karena hanya dapat menetralisasi toksin yang beredar atau belum berikatan dengan sel (jaringan).
Oleh karena itu, serum anti-difteri harus segera diberikan ketika diagnosis difteri ditemukan gejalanya. Serum akan efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak timbul gejala. Penundaan pemberian serum akan meningkatkan risiko komplikasi dan kematian. Sementara itu, antibiotik dibutuhkan untuk membunuh bakteri penyebab dan mencegah penularan penyakit.
Masalahnya, ketika ada kasus difteri di suatu daerah, serum harus tersedia dan cepat diberikan karena berburu waktu dengan fatalnya penyakit tersebut. Sementara pemberian antibiotik pada pasien tertentu juga tidak menjamin karena bisa jadi sudah resisten.
Sampai saat ini penyakit difteri merupakan penyakit yang tidak bisa sepenuhnya dihapuskan. Pemberian imunisasi DPT merupakan salah satu cara pencegahan penyakit difteri dan tidak menghilangkan keberadaan bakteri jika seseorang terinfeksi.
Pemerintah perlu mengevaluasi penanganan difteri dengan antibiotik dan serum. Indonesia perlu memastikan efektivitas antibiotik dan juga memastikan ketersediaan serum sehingga bisa cepat sampai tujuan.
Kambang Sariadji, Researcher in Bacteriology, National Institute of Health Research and Development Ministry of Health Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.