Joseph Awuah-Darko duduk di bangku salah satu tempat pembuangan limbah elektronik terbesar di dunia, sambil menonton kabel-kabel terbakar di tanah yang menghitam.
“Ini lambang kelangsungan hidup sekaligus kehancuran,” ujar pemuda berusia 21 tahun ini. Ia mengamati hamparan sampah elektronik di sekelilingnya saat asap tebal naik ke udara.
Ghana diketahui memiliki industri daur ulang terbesar di Afrika. Mereka mengimpor sekitar 40 ribu ton limbah elektronik setiap tahunnya.
Joseph dan teman kuliahnya memiliki rencana ambisius untuk Agbogbloshie, tempat pembuangan sampah di Accra, ibu kota Ghana.
Januari tahun ini, Joseph mendirikan lembaga non profit, Agbogblo Shine Iniatitive, yang mendorong para pekerja di tempat pembuangan untuk mengubah sampah menjadi furnitur mahal.
Ketika Joseph pertama kali melihat tumpukan papan sirkuit, kabel, dan plastik di Agbogbloshie, ia memutuskan untuk menggunakan bakat seninya dan membawa perubahan.
Ia pun membuat proyek Agbogblo Shine bersama Cynthia Muhonja, sesama mahasiswa di Ashesi University, Ghana.
Mereka memproduksi sisa-sisa elektronik, membuatnya menjadi furnitur berkelas, dan menawarkan pelatihan kepada pemuda di sekitar tempat pembuangan sampah untuk melakukan hal yang sama.
Lingkungan kerja yang berbahaya
Selama ini, para pekerja di lingkungan tersebut berisiko terpapar asap berbahaya dari pembakaran alat elektronik usang dan tidak diinginkan seperti telepon genggam, komputer, televisi dan sampah plastik yang dibawa ke Ghana dari seluruh dunia.
Mohamed Abdul Rahim, yang bertanggung jawab atas 20 pemuda, sudah bekerja di Agbogbloshie sejak 2008. Ia tahu pekerjannya ini berbahaya bagi kesehatan, namun Mohamed optimis inisiatif dari Joseph ini akan membantunya.
“Kami menderita di sini karena udara panas dan asap akibat pembakaran. Itu mengganggu kami. Jika melihat ada pekerjaan yang lebih baik, kami pasti akan bergabung dan meninggalkan ini semua,” papar Mohamed.