Metaverse: Dunia Virtual dalam Digital. Apakah Kita Membutuhkannya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 13 Januari 2022 | 13:00 WIB
Konser DJ Marshmello di metaverse Fortnite. Apakah metaverse menjanjikan sebagai tahap peradaban manusia berikutnya? (Marshmello/Youtube)

"Saya pikir mereka skeptis," terang Libby Rodney, kepala strategi di Haris Poll di Business Insider. Penyebabnya, karena Gen Z selama pandemi telah terkurung, dan metaverse punya hal yang menjanjikan untuk memuaskan mereka.

"Satu dunia telah diambil dari mereka (Gen Z), yaitu dunia dalam kehidupan nyata, [dan] mereka ingin kembali."

Mengutip dari News Scientist, Nick Kelly peneliti desain interaksi di Queensland University of Technology, Australia, berpendapat tentang metaverse. Baginya, metaverse yang ada saat ini hanyalah rangkaian pengembangan teknologi yang berisi gramofon yang membawa suara musik langsung ke ruang tamu, dan televisi yang memompa realitas audiovisual alternatif.

"Ini sangat mirip ketika 'internet of things (IoT)' pertama kali muncul, dan ungkapa itu mulai ada di bibir banyak orang," ujarnya. "Ini perkara tren yang kita miliki dalam merancang pengalaman baru."

"Jika seluruh hidup kita dijalani secara daring, ada lebih banyak peluang untuk menjual iklan kepada kita," lanjutnya.

Keunggulan dari metaverse adalah semua layanannya berbentuk fisik tiga dimensi, dengan realitas spasial yang dapat dinavigasikan lewat avatar digital.

Ketika mengubah Facebook menjadi Meta, Zuckerberg menguraikan: "Di masa depan, Anda akan dapat berteleportasi secara instan sebagai hologram untuk berada di kantor tanpa perjalanan, di konser dengan teman, atau di ruang tamu orang tua Anda untuk mengejar ketertinggalan." 

Metaverse pun bisa bersatu dengan kehidupan nyata. Sebagai contoh, di dunia virtual Anda mengunjungi sebuah toko, dan berinteraksi dengan asisten virtual untuk menentukan barang yang diinginkan. Ketika Anda membelinya, sistem akan mengantarkan produk asilnya tepat di depan pintu rumah Anda di dunia nyata yang diantar kurir nyata.

Ide ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum Facebook ada, yang salah satunya dipelopori Second Life oleh perusahaan gim Linden Lab. Metaverse ini memungkinkan Anda pergi berpesta—seperti di film Tron: Legacy—dan berjual-beli.

Tetapi, mengutip The VergeSecond Life yang awalnya memiliki pendapatan bruto 64 juta dolar AS dan memiliki satu juta pengguna, perlahan-lahan ditinggalkan. Hal itu disebabkan persaingan infrastruktur antar pengusaha metaverse, ujar Steve Benford, pendiri Reality Laboratory di University of Nottingham, Inggris.

Baca Juga: Tamagotchi Ajarkan Kita Rasa Kehilangan dan Berkabung dari Dulu